Minggu, 18 September 2016

Intro.

Pada hari – hari mendekati keberangkatan saya ke Belanda, saya jadi mudah baper.  Rasanya selalu jadi mellow kalau mengingat segala sesuatu hal tentang keluarga, tentang sahabat, orang- orang terdekat di Nusa Penida. Baper saya memuncak pada dua malam menuju tanggal penerbangan. Belum selesai melakukan cek barang bawaan, saya keluar dari kamar, menghampiri bapak dan ibu yang sedang berbincang di ruang tamu.

“Pak, aku kok rodo takut yo mau sekolah lagi. Kenapa ya ini. Bapak ibu nanti kangen sama aku ngga?” saya susah payah menahan biar baper di hati ngga jadi air mata.

“ Lho kok malah wedi kenopo. Kan Mbak Reni yang minta ke Allah, terus Alhamdulillah sekarang dikabulkan gitu tho,” kata bapak.
“Tapi kan pak, aku ki kan takut nanti kalo kangen kangen tu terus gimana, kan aku jauh dari rumah. Kalo di Bandung apa di Bali kan aku bisa pulang, atau bapak ibu yang ndatengin aku,” air mata tumpah ruah. Sekejap jadi alah nangis sesenggukan. Ya Allah, belum saja berangkat tapi saya sudah terbayang dulu bagaimana nanti rasanya menahan kangen pada bapak ibu adek, pada rumah, pada orang – orang terdekat. Meski hanya dua tahun, pikir saya, tetep aja belanda ya belanda, jauh.

“Lhoo ya jangan nangis tho,” bapak malah menertawakan saya, kemudian dengan senyum khasnya bapak bilang ”Kan ini kaya dulu mbak reni ke Bandung, cari kosan, sekolah cari ilmu. Sekarang di Belanda, lhak sama sama depannya ‘B’ hehehe. Coba diliat lagi niatnya, ini kan salah satu jembatan buat cita – citanya mbak reni tho, masuk list doa doa yang dititipin ke bapak ibu pas haji kemaren. Sudah diikhtiarkan, bapak ibu sudah doakan, kemudian sama Allah dikabulkan, Alhamdulillah. Sopo sing ra seneng nek dongane dikabulkan Gusti Allah. Wes, teko mantep tinggal dijalani, diseriusi. Ada Allah, yo ndak usah takut. Dan jangan malah sedih, nek mbak reni sedih bapak ibu yo jadi sedih. Dah, diterusin le siap siap”

Saya renungi pesan bapak. Rasanya hati jadi lebih adem. Lebih lega. Lebih ikhlas. Dari sini saya jadi teringat pada satu bagian di buku Alchemist, berkisah tentang perjalanan seorang pemuda yang ingin menggapai mimpi, tertulis pada salah satu halamannya;

In his pursuit of the dream, he was being constantly subjected to tests of his persistence and courage. So he could not be hasty, nor impatient. If he pushed forward impulsively, he would fail to see the signs and omens left by God along his path. [The Alchemist, page 89]

Courage. Persistence. Patient.

Saya coba flashback, bukan proses yang pendek untuk berada pada titik ini. Yaa Rabb, karuniakan keberanian, kemampuan, kelembutan hati, juga rasa syukur yang luas dalam, agar terhindar dari perasaan – perasaan yang membuat lupa apa yang menjadi tujuan utama; bahwa menuntut ilmu adalah jalan menuju surga – Mu.


Tepat malam ini, satu purnama sudah saya di Wageningen, Belanda. Ada waktu – waktu ketika rasanya begitu kangeen sekali sama bapak, ibu, adek. Kangen yang (ternyata) tidak bisa sepenuhnya diobati dengan komunikasi via telfon atau video – call. Di saat – saat seperti ini saya ingat pesan dari sahabat, bahwa jalan terbaik menyampaikan rindu adalah menyelipkannya pada doa – doa. Agar mengangkasa. Agar disampaikan dengan cara terindah oleh Sang Pemilik Hati.



Terimakasih ya bapak, ibu, adek, untuk selalu saling mengingatkan, mendukung, melindungi, dan melengkapi. Semoga Allah ridha untuk tidak hanya mempertemukan mbak reni dengan bapak, ibu, adek ini di dunia, tapi juga di akhirat. Pada kehidupan yang hakiki. Aamiin :’)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar