Rabu, 25 Desember 2013

Namanya Hanuna

Rabu sore minggu ke-empat.

Dia menoleh ke belakang. Tiga kali bertatapan mata dengan saya, sebanyak tiga kali itu pula kami saling melempar senyum. 

“Hanuna.”

Anak perempuan itu menjawab saat saya bertanya siapa namanya. Senyum manis tergaris di bibir mungilnya saat melafalkan ‘hanuna’, senyum yang sama saat dia menoleh tadi. Dia mendekat, memperhatikan buku dengan halaman yang sudah setengah penuh terisi.
Memiring-miringkan kepala, mensejajarkan pandangan matanya dengan tulisan di buku mencoba mengeja kata-kata yang menyusun kalimat. Seketika ia melepas mukena yang membalut ujung rambut hingga ujung jari kakinya, menampakkan muka bulat dengan rambut pendek sebahu, melipat sekedarnya lalu dia melangkah cepat menuju selasar. Saat saya mengintip melalui jendela, selasar kosong.

Tak lama kemudian Hanuna kembali ke ruang utama, menggenggam sebuah pulpen dan buku dengan cover biru tua. Saya tak terlalu memperhatikan kedatangannya, kalimat kalimat yang diucapkan pembicara di depan membuat saya hanya menoleh sekilas pada anak perempuan yang sudah kembali duduk jenak di samping saya, dia sibuk mengenakan kembali mukenanya.

“Tadi bapaknya bilang apa ya, hanuna denger ngga?” saya menoleh bertanya pada Hanuna, merasa terlewat beberapa kalimat yang sepertinya penting. Menulis kalimat-kalimat dengan cepat seperti ini menuntut tangan dan telinga terkoordinasi dengan baik. 


“Ngga denger hehe,” kata Hanuna sambil menyunggingkan senyum dengan sederet gigi putih yang rapi. Saya, yang awalnya bertanya serius ke hanuna dengan masih terbawa suasana penyampaian materi, kemudian ikut tertawa kecil, berpura marah memperlebar mata memperlihatkan sederetan gigi sambil mencubit pipi tembemnya. Hanuna tetap pada senyumnya.

Telunjuk mungil Hanuna menunjuk satu kata di buku tulis saya.

“Ini apa kak tulisannya?” tanya Hanuna sambil tak melepaskan pandangannya dari kalimat di buku, dahinya berkerut kerut. 

“Itu ‘kita’. Itu ‘k’ ya Nun,” jawab saya. Kepala k terbaca seperti huruf R membuatnya ragu dengan kalimat yang terangkai. Iya betul, Hanuna ikut mencatat, dan saya baru menyadarinya. Saya mengamati kalimat-kalimat yang ia tuliskan.

“Hanuna nulisnya mulai dari sini aja, itu udah lewat setengah,” kata saya sambil membalik ke lembar sebelumnya. “Poin-poin yang ini aja Nun,” kata saya sambil menunjuk tulisan dengan nomor-nomor di depannya, karena saya lihat dia mencatat kalimat-kalimat dari catatan di pertengahan materi. 



Lima belas menit kemudian bapak di depan menngucapkan kalimat penutup, mengakhiri hal-hal yang disampaikannya. Hanuna masih sibuk mencatat. Membalik lembar-lembar dari catatan saya.

“Besok ke sini lagi nggak?” katanya menoleh pada saya.

“Besok magrib? Belum selesai ya nyatetnya?” tanya saya. 

Hanuna mengangguk. 

“Mau liat lagi catetannya ya, tapi jam tuju-an aku ke sininya. Soalnya kalo besok magrib mau sholat sama mae di rumah,” katanya sambil senyum, matanya menyipit.

“Emang besok pagi Hanuna kemana? Sekolahnya lagi libur bukan?” tanya saya.

“Libur dah sampe besok senin baru masuk lagi,” katanya sambil menutup buku catatanya. “ kalo libur suka maen sama ibu kalo pas lagi di sini, tapi kalo ibu lagi baik ke Badung buat kerja buat setoran ya diem aja di rumah,” sambungnya dengan maish menyunggingkan senyum kanak-kanak.

“Tapi ibu jarang pulang, terakhir pas kapan itu libur sekolah. Kemarin aku habis dari Badung, sakit pantatku dibonceng lama sama kakek hehe, katanya dengan polos.

“Bapakku udah ngga ada dari pas aku masih di dalem perutnya ibu,” kata Hanuna.

Eh, bapaknya sudah tidak ada? 

Saya menghentikan keriweuhan memasukkan barang-barang ke dalam tas, beralih menatap wajah Hanuna.  Ringan saja, tak tampak raut kesedihan.

“Oh,” sahut saya spontan. Rasanya, entahlah sore tadi saya bingung menyahuti pernyataan Hanuna yang ringan saja menyatakan hal itu. Begitu ringan untuk anak sekecil Hanuna.

“Aku anter ke rumah ya,” kata saya kemudian.

“Ngga usah, deket dari sini kak. Di situ aja,” katanya sambil menunjuk bagian luar ruangan. 

“Oh gitu. Eh besok pagi kalo libur terus ngga ada ibu Hanunah kemana?” tanya saya lagi sambil kembali merapikan barang bawaan. 

“Ya itu tadi kak. Diem di rumah, atau main sama temen ke pantai,” jawabnya.

Pantai katanya.

“Dimana pantainya?” tanya saya bersemangat padanya.

“Itu di sana, dekeeet,” jawab Hanunah dengan wajah yang mengatakan ‘ituh pantainya deket di situ aja’ dengan tangan menunjuk ke satu arah.

“Besok pagi ke sana yuk, anterin aku. Aku ngga tau jalan ke pantai di sini,” kata saya sambil meringis. 

“Jam berapa?” jawabnya sambil senyum lebar.

“Hmm. Jam sembilan gimana?” kata saya.

“Asik besok main ke pantai,” kata Hanunah sambil tersenyum lebar.

Senyum lebarnya itu membuat matanya jadi tampak lebih sipit.

“Berarti besok kakak ke rumahku ya, ketemu di depan rumah gimana?” kata Hanunah kemudian.

“Yaudah, sekarang aku anter pulang ya makanya. Biar besok aku bisa langsung nunggu di depan rumah,” kata saya mengulang tawaran sebelumnya. 

“Aku ambil sandal dulu ya kalo gitu kak,” katanya seraya keluar dari ruang utama menuju ke tangga di samping bangunan. 
--- 

Hanuna membonceng, duduk di bagian depan di belakang stang motor. Tinggi untuk anak seumurannya tak mengahalangi pandangan saya ke depan, untungnya. Ternyata benar dekat saja, keluar dari lokasi bangunan kemudian berbelok ke kiri. Kurang lebih hanya berjarak 10 meter di sebelah kiri jalan ada pintu terbuat dari triplek yang dicat biru muda. Hanuna membuka pintu itu. Tampak di ujungnya sebuah lampu menyala redup. 

“Besok berarti langsung ke sini ya kakak?” 

“Oke siap hanuna,” saya mengangguk mantap sambil mengacungkan jempol. “Udah sekarang masuk Nun, ntar ditunggu sama orang di rumah. Masuk Nun, dadah dadaah.”

Hanuna tersenyum, melambaikan tangan pada saya lalu berbalik kemudian menutup pintu triplek. Menunggu pintu tertutup rapat kemudian saya berlalu. Hati ini tiba-tiba 'gerimis'.
---

Ini rabu ke-empat. Pada dua pekan pertama saya dipertemukan dengan Bu Satimah. Pekan ketiga saya sedang berhalangan. Kemudian ini adalah pekan ke-empat, saya tak menemukan Bu Satimah. Saya ingat tadi melangkah ke halaman tersenyum kecil dengan ada harap, sudah rasa rindu untuk bertemu lalu memulai lagi obrolan-obrolan dengan beliau. Masuk ruang utama saya menoleh kanan-kiri, tapi Bu Satimah tak tampak rabu sore ini. Kemana ya Bu Satimah? Besok mungkin saya akan coba ke rumah anak beliau, semoga saya bisa menemuinya. 

Lalu rabu sore ini ada Hanuna. Sebentar saja kami rasanya sudah menjadi teman baik. Mata cemerlangnya, semangat untuk mencatat, sedikit cerita hidup yang tadi diutarakan, lalu rasanya ada tangan-tangan tak tampak yang diarahkan-Nya untuk menepuk ramah bahu saya.

Maka pada rabu sore untuk empat pekan ini ada dua nama yang dengan rencana-Nya kemudian tiba-tiba sudah melekat saja di hati. Dari cerita-cerita yang disampaikan, dari ketulusan yang dapat dirasakan, dari cerita hidup yang kemudian ‘mengetuk’ lubuk, dari tatapan-tatapan yang meluluhkan.

Bu Satimah dan Hanuna, pada rabu sore empat pekan terakhir ini. 
---

Kamis, 26 Desember 2013.

Pagi ini kami tak jadi menyusur pantai, mae menganjurkan kami untuk main di rumah saja. 'Angin kenceng mbak, dan ini sedang panas-panasnya' begitu kata mae. Mae, begitu Hanuna memanggil  neneknya. Begitulah, pagi ini ini saya berdiam di rumah mae untuk ngobrol-ngobrol.

Mae bercerita bahwa beliau bekerja menyapu halaman masjid setiap hari. Selain mae dan Hanuna, yang menempati rumah itu ada suaminya. Ibu Hanuna kadang pulang saat ada libur panjang dari tempat dia bekerja.

"Hanuna cita-citanya jadi apa?" tanya saya saat Hanuna menulis di bukunya.

"Mau jadi dokter," kata Hanuna sambil menoleh dengan senyum yang sama seperti senyum saat sore kemarin saya pertama kali mengenalnya

"Wah pasti bisa, yang semangat belajarnya ya Nun. mau jadi dokter apa?" tanya saya lagi.

"Hmmm.. pokoknya dokter. Biar kalo mae sakit nanti berobatnya gratis. Ya mak ya," sahutnya sambil memandang mae.

"Sejak bisa ngomong dia sering sering sekali bilang mau jadi dokter mbak. Semoga saya dikasi umur panjang, biar bisa ngerawat Hanuna. Ibunya juga semoga dikasi rejeki biar bisa nyekolahin Hanuna sampe bisa jadi dokter," kata mae.

dipertemukan dengan mae dan Hanuna pada pagi-Mu yang kesekian. Pagi-Mu yang selalu bisa memberikan tepukan-tepukan ramah :")

Pada Sang Pemilik, 
Yang Maha Mendengarkan, Yang Mengabulkan doa-doa.
Saya meng-aamiin-i ucapan-ucapan Hanuna dan mae pada pembicaraan kami pagi ini. 
---

Hanuna pagi ini saat saya membuka pintu triplek bercat biru. Anak perempuan itu sedang berdiri di atas kursi kayu, berusaha mensejajarkan wajahnya dengan kaca yang ada di atas tumpukan genteng, membedaki wajah mungilnya.



---

Sungguh Kau nyata ada, dan begitu dekat. 

Maka aku sampaikan terimakasih lewat salah satu rumah-Mu, yang pada tiga rabu sore di belahan utara tanah ini Kau selipkan kemudian rasa haru dan rindu. Untuk selalu menjaga, dan kembali menumbuhkan tunas-tunas baru.

Jauh memang tak pernah benar-benar jauh, karena Kau selalu mendekatkan pada siapa dia perlu didekatkan. Begitu bukan? 

Sabtu, 21 Desember 2013

Ibu yang seperti ibu

Beberapa bulan lalu 

percakapan di satu sesi telepon 

Adek : "Aku lagi di rumah loh, week."

Saya : "Ih enak banget, lagi ngapain kamu di rumah?"

Adek : "Lagi mau ambil barang di rumah. Tau ngga, mosok tadi sore ada yang lucu. Kata ibu ayam-ayamnya pinter lho hahaha. Jadi kalo sore ibu kan suka ngecek ayam-ayamnya udah masuk kandang apa belum kan Mbak Ren. Terus tadi ibu ke samping rumah, pas sampe di tangga undak undakan ibu liat ayam-ayamnya lagi antri buat masuk kandang. Kata ibu ayamnya bisa terbang masuk sendiri ke kandang, padahal kan lumayan tinggi tho itu batu-batu sama pintu masuk kekandangnya. Terus yang lucu juga ibu habis ngeliatin semua ayamnya masuk kandang ibu terus cepet cepet masuk rumah, njuk habis itu ibu nyeritain ke aku sambil meragain ayamnya terbang. Ibu masang tangannya di samping badan terus dikepek-kepekkin kaya sayap ayam lagi terbang hahaha. Lucuuu pokoknya Mbak Ren ibu tadi pas nyeritain."

Terkikiklah saya mendengar cerita dari si adek :’D

1 Desember 2013 
pada sebuah pesan singkat

Ibu : "Assalammualaykum lagi apa mbak? aku mau renang nih."

Saya : "Waalaykumsalam bu, aku mau ada kegiatan. Oke selamat renang ya bu, hari ini sampai apa hafalannya ibu?"

Ibu : "Ok sipsip aku lagi hafalan Al Adiyat .. Kuda terbang."

Mmm.. kuda terbang? Ada yang janggal rasanya. Lalu saya buka Al Quran dengan terjemahan.

Saya : "Ibuuu, Al Adiyat itu kuda perang bukan kuda terbang bu hehe. Sipsip semangaaat!"

Ibu : "O iya, kudanya ikut perang, hingga debunya terbang. Di waktu subuh dia menyerang."

Saya : ....

ibu ini :”)
--- 

Ibu, begitu saya memanggil beliau, adalah wanita tangguh favorit nomor satu. Pemerhati segala hal, yang makro juga mikro, yang memperhatikan kebutuhan untuk hidup saat ini dan kehidupan sesudah ini.

Sulit bagi saya mendeskripsikan detail ibu yang seperti ibu. Saya hanya ingin berterimakasih pada bapak yang sudah memilih ibu, begitu juga pada ibu yang sudah menetapkan bapak, mendampingi satu sama lain. 

Mendefinisikan dalam hemat kata, menjadi ibu yang seperti ibu adalah ketika suatu kali wanita diberi kesempatan memiliki peran sebagai anak, istri, teman, pendengar yang baik, bendahara, koki, pendongeng, guru hafalan surat pendek, guru les, juga peran-peran lain, yang dilaksanakan dalam waktu bersamaan. 

Menjadi seorang ibu yang seperti ibu itu, mengesankan :”)

Saya hanya mau bilang, saya sayang sekali sama ibu yang seperti ibu, semoga padamu tak pernah lepas Allah limpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya. 

Rabbi firli wali wali daya warhamhuma kamma rabbayani shaghira.




Patutlah kita mengucap syukur dek, diberi sama Allah seorang ibu yang seperti ibu.

--- 

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)

Away (?)

It is not actually away from home. Away is if I find myself in the middle of nowhere standing on an unknown place on other continent with people around whom I can’t talk to anyway. Defining ‘away’ here, so I stare at a face at the mirror, showing a girl on a chamber with a bulk of the ‘unidentified’ feeling, the bulky hunk won’t disappear even a deep breath made, knowing people around that they always used with, then those people may gather at any time they want. Then for that girl, unlikely, that sort of condition keeping her sitting just there *hey, life is about choices!* Trying to heal the bulky awkward feeling by reading, browsing anything related the comforting way. Those reduce just a bit. And yes the coming period, the hormonal cycle, may probably affecting, maybe. 

Randomly read this once more.

“How can one be drop dead gorgeous while the other is nothing to gobble at?” 

Feeling such the one who is nothing to gobble at, by You :(

Looking back these few months, so this awkward feeling supposed to be the accumulation of the self bargaining, disparaging the little things which turn to disparage the bigger ones :(

A so bad dependence is that how I miss several sharing occasions, means when I am actually talking to someone, so bad, keeping in mind that You are always here closer by everybody’s side than anyone else. The Best Listener who will always perceiving our wishes are Your utmost important sentences we whispered.

Texted a friend of mine, and she answered," Sometimes loneliness needs to be enjoyed. Enjoy till it run out of the quota, then 'voila' the happiness will eventually coming in."

There should no 'but'. What else I can do other than keep doing the dos and away from the don'ts? yes, no more bargaining. Please always be by my side, Rabb. 

I seek forgiveness from You. 

Wahuwa ma'akum ainama kuntum. 

Jumat, 20 Desember 2013

Capungan Banggai

Banggai, dengan laut berair jernih berpasir sewarna terigu. Kata seorang kawan baru, kalau kita naik perahu berkeliling ke sekitaran pulau kemudian melongokkan kepala ke dasar laut dangkalnya, maka seperti melihat ikan di akuarium, biru bening. Hmm katanya lagi, sebetulnya tak perlu perahu atau berenang jauh dari tepian, alam menyajikan pemandangan menakjubkan di bawah air dengan berenang dekat-dekat saja.

Banggai, syukurlah kabarnya tak dipadati pengunjung, masih sepi. Salah satu dari banyak pulau lain di Indonesia yang masih orisinil, masih virgin.

Maukah kau menemaniku ke sini? Kita akan berkunjung ke Banggai pada satu kesempatan nanti. Menjejakkan kaki di pasir sewarna terigunya, berenang di sekitaran pulau melihat apa yang dideskripsikan kawan baru ini  padaku.
---

Sore tadi di Penuktukan.

“Sebelum pulang makan dulu ya Mbak Reni,” kata Pak Wid saat saya beberes memasukkan barang-barang ke dalam tas.
“Pak Wid ini repot-repot, saya nanti makan di jalan aja Pak,” kata saya menolak dengan halus, mengingat matahari segera menghilang kurang lebih satu jam lagi, yang berarti jalan raya singaraja-amlapura akan gelap.
“Ayo Mbak Reni, sekalian sama temen-temen ini, tinggal makan aja udah disiapin semua sama ibu,” kata Pak Wid lagi.

Saya yang sedang duduk di teras rumah melongokkan kepala ke bale bengong. Ternyata benar, makanan sudah siap tersedia, empat orang lain sudah duduk di bale.

“Wah oke deh Pak, saya boleh bantu habisin ini ya Pak,” kata saya kemudian. Merasa tidak enak setelah ngobrol mendapat banyak info dari beliau kemudian menolak tawarannya. Saya membereskan barang bawaan, beranjak dari teras menuju bale bengong.

Ada 5 orang duduk bersila makan di bale bengong pada sore menjelang malam kali ini; saya sendiri, Pak Wid pemiliki rumah, Matthew bule Amerika yang sedang menjadi volunteer untuk satu lsm lokal di Penuktukan, kemudian ada Mas Emi dan Mas Rafi.

Sambil menyendok sayuran dan lauk Pak Wid bercerita, meski tinggal di tepi laut beliau tidak bisa makan ikan laut sejak kecil. Sudah mencoba memaksa tetap saja tidak bisa. Entah mengapa katanya. Saya pikir sayang sekali, karena masakan ikan laut di tangan istri Pak Wid bisa lezat begini.

Pak Wid menyampaikan Matthew ini orang amerika yang sedang jadi volunteer untuk kegiatan salah satu lsm untuk promosi kegiatan di Desa Les dan Penuktukan. Dari obrolan singkat Matthew bercerita bahwa dia baru dari Korea, menetap 2 tahun di Pulau Jeju untuk mengajar Bahasa Inggris. Dia mengambil studi mengenai bisnis dan ilmu kelautan, untuk itu dia ingin membantu pengembangan program di Bali utara dalam kegiatan volunteer kali ini.

“Wah asik sekali ya Matthew jalan-jalan terus hehe. Habis ini kemana lagi tujuanmu? ” kata saya.
“Saya cuma mau cari pengalaman sebanyak-banyaknya di luar amerika, nanti pas saya kembali ke sana pasti banyak yang sudah berubah, teman-teman, lingkungan, tapi ya saya senang dengan begini. Dua minggu lagi saya terbang ke Singapore, kemudian mau menyeberang ke Sumatra, menyusur Sumatra dari utara ke selatan lalu menyeberang ke Jawa,” kata Matthew dengan bahasanya, bercerita dengan wajah sumringah menantikan perjalanan berikut.
“Aku ini suka iri sama orang sepertimu, masih muda sudah mengunjungi banyak tempat,” komentar saya. Berdasar taksiran saya Matthew ini berumur sekitar 25an, dari ceritanya yang baru saja lulus pendidikan bachelor.
“Yah, yang paling utama adalah menikmatinya bukan,” katanya yang saya balas dengan menunjukkan sederetan gigi sambil mengangguk-angguk.
Saya bertanya pada Mas Emi dan Mas Rafi,” Mas Emi sama mas Rafi ikut kegiatan volunteer juga ya?”
“Iya Mbak, ini barengan kami berdua ke sini dari Banggai,” kata Mas Emi.
“Waaw jauh-jauh dari Sulawesi ceritanya ya mas. Kok bisa tertarik ikut kegiatan di bali utara mas?” tanya saya penasaran.
“ Awalnya kami udah sering kontak sama salah satu lsm di sini, mereka juga secara berkala ke Banggai buat monitoring terumbu karang, mangrove, sea grass juga. Suka cerita-cerita, kami dengar di sini lagi dibuat kawasan konservasi kan ya Mbak. Berapa waktu lalu bilang sama ibu ketuanya, terus ditawarin ke sini buat belajar. Akhirnya kami berdua ke sini,” jawab Mas Emi.
“ Oh gitu mas, iya ini saya juga lagi ikut belajar deket-deket laut hehe ,” kata saya sambil menyendok sayur.
“ Banggai itu Mbak, sejak otonomi daerah ditetapkan 14 tahun lalu, lautnya ngga pernah disentuh. Padahal Banggai sendiri luas wilayah lautnya empat kali dibanding luas daratannya, potensinya melimpah,” kata Mas Rafi.

Terhenyak, menghentikan makan. Mengalihkan pandangan pada Mas Rafi.

“Sudah ada usaha pendekatan ke pemerintah Mas?” tanya saya.
“Sudah berkali-kali Mbak. Tapi sampai sekarang pemerintah belum berpihak pada kami.”

Lagi lagi kebijakan, birokrasi.

“Gitu ya Mas. Hmm.. Kalau di Bali utara ini mas, khususnya di Buleleng ada anggaran pemerintah yang memang dialokasikan untuk pembelian alat selam, atau misalnya untuk kegiatan rehabilitasi terumbu karang bisa dialokasikan untuk pembuatan heksadome gitu Mas. Mungkin bisa juga ngajuin yang seperti itu Mas di sana? Maksud saya misalnyapun pemerintah belum berpihak, kalau ada anggaran dana yang dialokasikan buat kegiatan semacam itu bisa ngajuin proposal buat bergerak di bawah,” kata saya.
“Wah Mbak, Dinas aja belum punya alat selam, gimana kami mau minta ke sana. Pemerintah kami belum ada perhatian ke laut. Sejak 14 tahun otonomi daerah diberlakukan, ada dinas yang judulnya kelautan sampai sekarang belum punya alat selam, kalo perlu data selalu mengandalkan lsm. Kami pernah mengajukan tentang pembentukan Daerah Pemanfaatan Laut (DPL, atau kawasan konservasi perairan laut di tingkat desa/ masyarakat lokal) tapi ditolak alasannya selalu perlu data,” Mas Rafi menimpali.
“Kalau data lapangan memang perlu kan ya Mas untuk pembentukan kawasan pemanfaatan,” sahut saya.
“Iya Mbak lsm ini secara berkala ke Banggai buat ngadain monitoring, setidaknya kami mulai terbantu untuk pengadaan data. Kami kirim juga foto-foto ke yayasan lain. Kalo ngobrol gini siapa tau dari Mbak nanti bisa juga ngadain monitoring di Banggai,” kata Mas Rafi.
“Hmm coba saya catat dulu ya Mas. Kalau untuk dive operator atau resort di Banggai gimana Mas? tanya saya.
“Belum ada satupun dive operator di sana Mbak. Penginapan ada tapi jauh sekali dari pesisir.”
“Kalau mulai deketin masyarakat buat bikin semacam homestay gitu Mas?”
“Sudah Mbak tapi susah sekali, masih gimana gitu pemikiran masyarakatnya. Padahal kan ini nanti akan jadi pemasukan juga buat mereka. tapi saya pikir kalau nanti sudah ada yang berhasil satu, yang lain akan lebih mudah untuk diajak kerjasama,” kata Mas Rafi.
“Betul Mas Rafi. Tapi dari awal memang perlu sekali pemahaman tentang keberlanjutan kan ya Mas, takutnya nanti kalau suatu hari terkenal, kemudian dieksploitasi habis sudah, hehe,” kata saya.
“Iya Mbak, sedih juga kalau jadi begitu.”
---

Banggai.
Pulau ini masuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Tengah. Pada tahun 2012, Kabupaten Banggai mengalami pemekaran sehingga terbagi menjadi Kabupaten Banggai Kepulauan dan Kabupaten Banggai Laut. Sampai tahun ini Kabupaten Banggai Laut dipimpin oleh Bupati Pelaksana Tugas karena belum ada pemilihan Calon Bupati. Dari data yang didapat di internet, Banggai memiliki wilayah laut mencapai 18.800 kilometer persegi. Wilayah laut yang cukup luas untuk sebuah kabupaten, didukung dengan potensi melimpah yang terlalu sayang untuk tidak dihiraukan. Mas Rafi dan Mas Emi adalah anggota dari Kelompok KALI (Katulistiwa Alam Lestari) yang sudah menginisiasi kegiatan-kegiatan untuk mengembangkan wisata bahari dan peningkatan kepedulian terhadap laut di sana. Satu imbuhan informasi, ketika menanyakan tentang metode penangkapan ikan karena saya dengar kawasan timur masih marak penangkapan dengan menggunakan dinamit Mas Rafi menyampaikan bahwa ternyata Banggai ini adalah pusat dari peredaran bahan bakar ledak. Barang dipasok dari Kalimantan ke Banggai, kemudian disebar ke pulau-pulau sekitar, ke Papua, ke Maluku dan lain-lain. Waktu saya tanya lagi tentang bekas-bekas pemboman Mas Rafi tersenyum kecut. Betul, ketika snorkeling tak jarang ditemukan lahan-lahan bekas pemboman yang teridentifikasi dari diameter-diameter substrat yang merata gundul yang dikelilingi bangun karang di luaran diameter yang terbentuk.
---

“Itu kenapa kami berusaha untuk mengajukan pembentukan kawasan konservasi laut, Mbak.”

Betul, agar yang cantik ini dapat dipertahankan. Kalau dari bawah sudah ada inisiasi dan kemauan seperti ini, semoga nanti menjadi lebih mudah ketika kebijakan sudah berpihak pada Mas dan teman teman. Seperti yang Mas Rafi dan Mas Emi sudah pahami. Menjual tanpa merusak, ada cara lain untuk memanfaatkan dengan baik agar tetap lestari.

“Oya, Mas Rafi tadi menyinggung tentang souvenir yang sudah diekspor. Souvenir apa mas kalau boleh tau?” tanya saya.
“Oh, ini Mbak,” kata Mas Rafi sambil melepas kalung yang dikenakannya.

Handmade Cardinalfish  yang terbuat dari batok kelapa
Capungan Banggai atau dikenal juga dengan Cardinalfish, biota laut endemik penghuni laut Banggai. Berhiaskan sisik di tepian serupa manik-manik perak dengan sirip ekor menjuntai indah. Souvenir dibuat sendiri oleh personil Kelompok KALI dengan berbahan dasar batok kelapa, handmade souvenir. Buah tangan ini didistribusikan ke bandara, ke beberapa tempat tempat penjualan oleh-oleh, dan tempat lain yang sarat pengunjung. Seperti yang disampaikan Mas Rafi, buah tangan Capungan Banggai ini sudah diekspor sampai ke Florida. Selain buah tangan ini, komunitas juga membuat kaos bergambar serupa, tapi distribusinya masih diperuntukkan bagi warga lokal.

Ini dia Mas Rafi dan Mas Emi dengan kaos dan kalung Capungan Banggai.


Mas Emi dan Mas Rafi

Untuk melihat ‘wajah’ bawah laut Banggai bica coba browsing ya teman-teman :)

 ---

Bagaimana, bersediakah menemaniku ke Banggai? Kita bisa terbang ke Luwuk. Lalu dari Luwuk kita akan naik kapal selama 7 jam langsung menuju Banggai Laut, katanya ini adalah cara paling mudah dan nyaman untuk mencapai pulau itu. Betul, 7 jam menyeberang. Tidak mengapa bukan? Di situ kita akan bercerita banyak sambil merencanakan perjalanan-perjalanan berikut. Yuk, kita ke sini :)

Senin, 02 Desember 2013

Baywatch lokal dan substrat unik di Pemuteran

“ Penjaga pantainya serem. Badannya gede-gede, kalo ada tindakan pengunjung yang ngga bener langsung diteriakin dari pinggir sambil nuding-nuding.”

--- 

Tiga minggu lalu saya berkesempatan mengunjungi Pemuteran, satu wilayah di Bali Utara yang terkenal dengan aplikasi metode biorock untuk rehabilitasi terumbu karang. Metode biorock yang diterapkan di sini dinilai berhasil dilihat dari recruitment karang yang terjadi dan pertumbuhan karang yang signifikan. 

Bermacam bentuk rangka berfungsi sebagai substrat untuk menempelkan fragmen karang. Bentuk-bentuk yang unik berhasil menarik wisatawan domestik maupun mancanegara untuk melakukan snorkeling atau penyelaman. 








“Wisatawan yang hadir terkesan dengan metode yang digunakan untuk kegiatan rehabilitasi. Yang juga menarik perhatian adalah bentuk-bentuk substrat yang unik. Kebanyakan substrat yang ditenggelamkan biasanya berbentuk bongkahan yang sudah umum, tapi dengan bentuk-bentuk unik seperti yang ada di sini pesan konservasi dapat tersampaikan dengan cara yang lebih mudah ke wisatawan karena mereka sudah tertarik lebih dulu terhadap objek yang ada,” kata pengawas pantai. 









Keberhasilan pengembangan metode transplantasi yang menarik banyak wisatawan untuk berkunjung tak lepas dari dukungan Desa Pakraman Pemuteran. Penelitian yang dilakukan oleh Atmadja dkk* menyebutkan bahwa Desa Pakraman Pemuteran mendukung gagasan ini dengan alasan, yakni: pertama, basis ekonomi para nelayan akan terpulihkan. Kedua, jika kegiatan bisnis pariwisata berkembang maka terjadi tetesan dolar kepada krama desa lewat penyerapan tenaga kerja lokal. Ketiga, bisnis pariwisata memberikan peluang bagi pemasaran produk lokal sebagai penunjang bisnis pariwisata. Keempat, bisnis pariwisata memunculkan diversifikasi nafkah, yakni nelayan, petani, dan karyawan perusahan pariwisata sehingga peluang untuk meningkatkan pendapatan keluarga bertambah besar. Kelima, desa pakraman mendapatkan masukan finansial dari dana filantropi dan atau tanggung jawab sosial perusahaan pariwisata. Masukan finansial ini bisa memperkuat basis ekonomi desa pakraman guna mewujudkan aneka program yang terkait dengan pengaktualisasian ideologi THK.

Oiya, tentang baywatch lokal. 

Pengawasan pantai di pesisir ini dilakukan oleh masyarakat. Pemuteran, yang notabene terletak di Bali dengan hukum adat yang mengikat kuat, merupakan tempat pertama kali terbentuk pecalang segara. Pecalang sendiri merupakan pelaksanakan sistem keamanan tradisional yang dilakukan oleh orang lokal. Sistem yang berkembang baik ini menjadi percontohan bagi pengamanan wilayah pesisir di tempat-tempat lain, di Bondalem, Tejakula, Penuktukan, dan bahkan menurut informasi dari salah satu pecalang segara, sistem tersebut diadaptasi juga di wilayah pesisir di Kalimantan.

Pecalang segara ini bekerja pada satu kelompok yang dinamakan Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokmaswas). Pokmaswas didirikan pada masing-masing desa yang memiliki wilayah pesisir dan masyarakat memiliki inisiatif untuk kegiatan pengamanan pesisirnya. Tujuan utamanya ialah mengawasi kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di wilayah pesisir. Selain itu, Pokmaswas juga bertugas memberikan peringatan pada orang-orang yang melakukan pelanggaran, sedangkan tindak lanjut terhadap pelanggar adalah di luar tugas pokmaswas, melainkan diserahkan pada pihak yang berwajib misalnya pada aparat pemerintah tapi bisa juga diserahkan pada desa adat apabila pelanggaran dilakukan terkait dengan awig-awig. 

“Semboyan kerja kami adalah 3S, salam, senyum, sapa. Udah bukan jamannya lagi pengawas pantai mengingatkan orang yang melanggar dengan meneriaki dari jauh, berkacamata hitam muka sangar. Kebanyakan kalo begitu yang diingatkan malah semakin berontak, makin ngeyel. Coba kalau misalnya didatangi, kita sapa lalu diberi senyum manis sambil bilang baik-baik kalo melakukan kesalahan. Orang akan segan dan malu sendiri. Ini dari pengalaman yang sudah-sudah hehe,” kata Bli Gunaksa, wakil ketua Pokmaswas Pemuteran. 

Bener juga ya hehe. 

Kalo tujuannya baik lalu disampaikan dengan cara yang baik InsyaAllah hasilnya juga baik. Dan, agaknya memang hanya yang dari hati yang akan sampai ke hati. 

Baiklah. Siapa tahu teman-teman berkesempatan berkunjung ke Pemuteran, ini dia Bli Gunaksa, dengan seragam pokmaswasnya setelah menyampaikan semboyan 3 S. Berfoto tidak lupa menyunggingkan senyum ramah pecalang segara :)

Bli Gunaksa dengan senyum ramah pecalang segara :)

--- 

*Atmadja, A. Tungga dkk. (2013). Pecalang Segara: Satuan Tugas Keamanan Tradisional Penjaga Kelestarian Lingkungan Pantai dan Laut: Studi Kasus di Desa Pakraman Pemuteran, Grokgak, Buleleng, Bali. Jurnal Bumi Lestari, Volume 13 No. 1, Februari 2013, hlm. 174-184s

*Foto UW oleh Citra Indah Lestari

Senin, 04 November 2013

Hai, adik.

Apakah rasanya setiap sel-sel di tubuhmu sudah maksimal lelah? Lelah untuk terus dipaksa ‘on’ agar tidak tertidur saat mengetikkan kalimat demi kalimat untuk bundel skripsi. Memaksa untuk melek hingga tengah malam atau bahkan pagi demi tidak melewatkan tenggat waktu pengumpulan. 

Atau mungkin pernah sampai jarimu gemetaran akibat kurang tidur. Badan rasanya anyep, dingin, kepala kadang terasa pusing dipenuhi hal-hal terkait revisi dari dosen pembimbing, belum lagi belajar untuk mempersiapkan pendadaran. Mengetik seharian lalu lupa mandi #eh. Asal jangan lupa sholat tidak apa-apa. 

Apakah hatimu berdebar-debar akan menghadapi sidang besok?

Itu wajar. Sini, aku mau bercerita sedikit. 

Adalah Selasa, 12 Maret 2013. Syahdan teradapat seorang perempuan yang akan menghadapi sidang awal tahun ini, yaitu aku hehe. Malam sebelumnya aku menginap di lab di kampus, berharap memanfaatkan sebaik-baik waktu malam terakhir sebelum sidang untuk belajar karena kalau di kosan seringkali jatuh tertidur. Membaca cepat, memahami lagi ringkasan-ringkasan yang sudah aku buat. Baru memejamkan mata saat jam menunjukkan pukul 3 pagi. Terbangun segera untuk subuh dilanjutkan diskusi dengan 2 kawanku yang juga menginap di lab saat itu. 

Siang harinya bertemu dengan Pak Mamid, dosen pembimbing. Rasanya badan sudah tidak mau diajak kompromi. Melihatku dalam keadaan yang (sepertinya) tampak mengenaskan, pembahasan sedikit saja lalu Pak Mamid menyuruhku pulang. “Udah, segera selesaikan presentasinya Ren, kan tinggal dikit lagi itu. Lalu istirahat aja buat besok,” kata beliau. Aku tidak mengiyakan, bandel sekali. Masih mencoba memaksa membaca di kampus bersama teman-teman yang akan sidang hari setelahnya. Soalnya aku takut sekali akan diuji oleh Bu Mae, dosen dengan spesialisai biokimia molekuler *fiuh*. Jadilah siang itu aku belajar biokimia dengan satu teman. Ibu ini yang membuatku sangat risau menghadapi sidang esok hari.

Sore aku kembali ke kosan. Sudah tidak bisa lagi membaca apapun. 

Yang diingat pada sore itu adalah aku menelepon bapak dan ibu, menangis sesenggukan. Bilang kalau aku takut buat sidang besok. Bapak bilang,” Udah didoain sama bapak sama ibu, Mbak Reni sekarang istirahat aja.” Sebentar saja lalu menutup telepon. Pastilah aku saat itu membuat mereka khawatir. Maafkan ya Pak, Bu. Lalu ada telepon dari Falma dan Dian, yang aku sendiri tak keruan menjawabnya, aku bilang takut sama Bu Mae. 

Lalu datang Ica dan Ratih. Aku yang masih sesenggukan merisaukan esok hari. Lalu begini kata Ica,” Ren, aku ngga tau harus memberi masukan yang tepat seperti apa. Tapi Ren, ini rasanya cuma siklus kan ya. Tahun lalu aku sidang, rasanya deg-degan lalu terlewati. Sekarang Reni sidang, deg-degan risau-risau begini. Tapi Ren, besok setelah dhuhur itu InsyaAllah sudah terlewati. Nanti Reni InsyaAllah udah lega. Ini ngga tau deh nanti buat sidang tesis mungkin aku akan deg-degan lagi kan Ren. Jadi pokoknya berdoa saja wes ya sama Allah. Cuma itu yang bisa dilakukan kan Ren.” Mengatakannya dengan tersenyum.

Tapi dasarnya hati sedang risau, sedang tidak mau diajak berkompromi. Jadi aku cuma ngangguk-ngangguk. 

Jadi aku melewatkan malam itu dengan menyelesaikan presentasi, tidur, dan berdoa. Karena kelelahan siang harinya, aku tidur setelah sholat isya, terbangun pukul 22.00. Segera menyelesaikan presentasi untuk sidang esok hari, kemudian kembali memejamkan mata. 

Kemudian ini cerita pada keesokan hari, 13 Maret 2013.

Ajaib. 

Jantungku berdetak tidak lebih kencang dari biasanya. Alhamdulillah, pagi itu suasana hati sangat nyaman dan tenang. Sepertinya Allah mengabulkan salah satu poin doaku “semoga diberi ketenangan hati saat sidang nanti”.

Pukul 10.00 WIB, Kamal salah seorang kawan keluar dari ruang sidang. Tersenyum lega saat keluar ruangan, lulus katanya. Maka sekarang giliranku. 

Lalu aku melangkah masuk ke ruang sidang dengan hati yang Alhamdulillah tenang dan nyaman. Melakukan presentasi dengan Alhamdulillah lancar. Tanya jawab dengan dosen penguji. Kemudian tepat pukul 12.00 WIB selesai tanya jawab aku diminta keluar ruangan, dosen-dosen ingin berdiskusi sebentar. 

Tahu tidak? Keluar dari ruangan aku menyadari satu hal. 80% pertanyaan yang diajukan oleh dosen penguji adalah materi yang aku baca. Allah mengabulkan juga satu poin doaku “semoga dosen penguji mengajukan pertanyaan dari materi yang sudah saya baca”. Sepuluh menit kemudian aku diminta masuk kembali ke ruang sidang. Pak Mamid, Bu Mae, Bu Lulu, dosen penguji, memberitahukan bahwa aku lulus. Alhamdulillah. 

Begitu cerita singkat 2 hariku. 

Oya, tentang dosen yang aku risaukan. Bagaimana Bu Mae saat sidang?

Ah begitulah yang biasa terjadi bukan? kita suka sekali merisaukan hal-hal yang belum terjadi. Bu Mae saat sidang adalah dosen yang dengan senyum manis menanyakan hal-hal yang 'kebetulan' aku sudah baca. Dia mengajukan setiap pertanyaan padaku dengan lembut. Apabila aku kurang mengerti pertanyaan yang diucapkan, beliau mengulangi dengan hati-hati hingga aku paham lalu dipersilakan untuk menjawab.

Jadi kalau sekarang deg-degan buat besok, halau saja risaunya. Berdoa, percayakan saja pada Allah.

Hmm. Aku ulang lagi ya pertanyaan di atas.

Apa kau sudah merasa setiap sel di tubuhmu berontak ingin segera menyelesaikan ini?

Maka ini berarti memang sudah saatmu berkata 'hai' pada pendadaran. Temui saja dosen penguji. Lakukan presentasi mengenai penelitian yang kau lakukan, jawab pertanyaan yang diajukan dengan percaya diri. Jangan sotoy tapi ya hehe.

Setelahnya, rasanya akan sangat lega. Boleh ya aku analogikan seperti menahan eeemmm.. seperti menahan pup :p Kau mencari kamar mandi kemana-mana. Berputar sana-sini. Kamar mandi di sana penuh, banyak yang mengantri. Yasudah kau mencari di tempat lain. Ah, ada kamar mandi kosong. Kau melongok ke dalamnya. Eh ternyata tidak ada air dalam baknya. Maka kau terseok menampung air di ember, menahan perutmu yang melilit. Berusaha agar tak terjadi kontraksi sehingga ‘dia’ keluar tidak pada tempatnya. Setelah ember penuh kau mengangkatnya ke kamar mandi kosong itu. Sudahlah, lalu lega. *lebay ya tapi begitu kok kurang lebihnya hahaha*

Yakin sajalah. 
Allah menghitung setiap usaha, Allah mengabulkan doa-doa :”) 

Aku tau kau sudah memiliki list doa secara detail. Semoga sesuai dengan harapanmu.

Ini hanya masalah waktu, begitu bukan Paps? Besok kira-kira pukul 10.00 WIB InsyaAllah kau akan sudah melewati pendadaran, sudah menyelesaikan satu tugas yang diamanahkan bapak dan ibu. Setelah itu InsyaAllah akan banyak kesempatan lain menunggumu. 

Maaf aku tak bisa menyambutmu saat keluar dari ruang sidang esok hari. Tapi doaku untukmu InsyaAllah tak pernah berhenti, Paps. Sebagai ganti tak dapat hadir, aku mengucapkan selamat pendadaran dari tempat ini ya.

Semangat Paaaps!
Dari satu tempat yang baru pertama kali aku menapakkan kaki, tempat tertinggi yang aku pernah berdiri. 

Oya, baca ini juga ya, Paps.

“Rabbish rahli sodri (25) wa yassirli amri (26) wahlul ‘uqdatam min lisani (27) yafqahu qauli.” (Taha : 25-28)

Artinya; “Wahai Tuhanku, lapangkanlah bagiku, dadaku; dan mudahkanlah bagiku, tugasku; dan lepaskanlah simpulan dari lidahku, supaya mereka faham perkataanku.” 

Baiklah. Semangat untuk pendadaran besok. Ayo kalau sudah selesai segala urusan-urusan segera kunjungi aku. Akan kutraktir menyelam lalu kita bisa trekking gunung batur bersama :’)

Saat wisudaan nanti aku InsyaAllah akan pulang ke rumah. Lalu harus kita jadwalkan lagi bersepeda bersama. Okelah Paps, aku tunggu kabar baik darimu esok hari!


 Jadi (agak) rindu padamu :p

Oya satu lagi, aku ingat kata temanku saat itu. Semoga kita juga ingat untuk sidang-sidnag lain berikutnya. Dia bilang seperti ini,

"Baru sidang begini lho Ren, belum lagi sidang di akhirat ntar."

Eh, betul juga ya.

Senin, 14 Oktober 2013

Pada sahabat.

Saya hendak meminta maaf karena ketika akan menelfon tengah malam sebelum pergantian hari saya jatuh tertidur. Tertidur hingga keesokan hari dengan masih menggenggam handphone di tangan.
---

Hari Minggu saya dan Febri berencana mengunjungi beberapa tempat di pulau tenggara Bali ini. Untuk itu pagi ini saya menemani Febri ke tempat penyewaan motor. Tempat penyewaan motor ada di Rumah Datuk Iti, nenek dari Izah.

Kamu masih ingat Izah Din? Anak kecil yang aku ceritakan dulu.

“Assalammualaykum,” kata saya sambil mendorong pintu belakang.
“Waalaykumsalam,” jawab orang di rumah.

Saya lihat ada Izah sedang menurunkan standar sepedanya.

“Mbak Reni mau kemana, katanya mau sewa motor ya?” tanya Izah
“Mau ke Atuh Zah, ada temen Mbak Reni ikut main ke sini terus katanya mau jalan-jalan ke sana. Jadi aku mau minjem motor bapaknya Izah buat main kesana ya,” kata saya.
“Tapi bapak lagi keluar Mbak Ren, aku bilang ke mamak aja ya,” kata Izah.

Lalu dia lari ke dalam rumah memanggilkan mamaknya. Sebentar kemudian ibu Izah ke luar, saya bilang mau menyewa motor dua hari untuk ke beberapa tempat. Beliau mengiyakan kemudian masuk ke dalam rumah mencarikan kunci motor.

“Zah, Izah inget ngga sama Kak Dian?” tanya saya
“Kak Dian yang fotonya ada di hp nya Mbak Reni itu?” kata Izah menatap saya dengan matanya yang cemerlang.

Dia mengingatmu, Din.
Kalian belum bertemu tapi dia mengenalmu dari cerita-ceritaku.

“Zah, Kak Dian hari ini ulang tahun lho, doakan Kak Dian ya Zah,” kata saya.
“Ulang tahun yang ke berapa Kak Dian nya sekarang Mbak Ren? Nanti dah tak doain Kak Diannya. Eh kalo ngucapin sekarang telfon Kak Dian boleh nggak?” tanya Izah.

Dia bilang dia ingin ngucapin selamat ulang tahun padamu Din.

“Hmm. Kalau Izah ngucapinnya ditulis mau ngga? Biar awet Zah. Kalau langsung bilang nanti Kak Diannya denger sekali aja jadinya ngga awet deh hehe, ” kata saya.
“Boleh Mbak Ren, ngga papa. Sekalian mau ngajak Kak Diannya ke sini ya Mbak. Dimana nulisnya?” tanya Izah sambil senyum, senyum manis.

Lalu saya keluarkan buku catatan, memberikannya pada Izah beserta satu pulpen. Kemudian aku menemui ibunya di dalam rumah, berbicara sebentar tentang waktu pengembalian sepeda motor. Kira-kira sepuluh menit kemudain Izah menghampiri saya, mengembalikan buku catatan.

“Ini Mbak Ren, udah buat Kak Dian. Ntar ajak Kak Dian main ke sini ya Mbak Ren,” kata Izah kemudian mengambil sepedanya, mengayuh pedal sepeda keluar dari pekarangan rumah.

Dia menuliskan ini untukmu.



Jelas terbaca tidak Din?
Aku ketik lagi kalimat yang ditulis Izah ya :)
---

Toyapakeh, 13 Oktober 2013
Halo Kak Dian selamat ulang tahun semoga panjang umur sehat sentosa, semoga lulus. Kak Dian kapan main ke nusa penida nanti main ke penide puncak mundi, mandi laut, jalan-jalan ke nusa penida keliling nusa penida, ke peguyangan, nyabut asamku, terus nyari manggaku, melihat santrais, sunset, melihat matahari yang terbit di pagi hari dan siang hari terus Kak Dian ajari aku belajar okeeee!
-Nur Azizah
---

Kalian belum bertemu, belum pernah bertatap muka satu sama lain bukan?
Tapi Izah mengenalmu.

Panjang umur sehat sentosa, doa Izah. Katanya semoga Kak Dian lulus. Dia tahu kamu sedang menempuh pendidikan S2. Diajaknya kamu mandi laut. Mandi laut itu berenang Din, jadi sebelum menginjakkan kakimu ke pulau ini kamu harus bisa berenang ya. Pun belum bisa nanti aku pinjamkan jaket pelampung. Di rumah Izah ada satu pohon asam yang tinggi dan sedang lebat berbuah Din, makanya diajak nyabut asam. Dan ajakan-ajakan lain yang sudah ditulis Izah di atas ya.

Itu Din, aku ingin sampaikan dari satu teman kecil kita. Kalau nanti kamu ada kesempatan ke sini, aku kenalkan ke Izah juga teman-teman lain :)

Lalu dariku?
Hmm. Dariku begini Din.

Jadi tadi aku ke satu pantai, namanya Pantai Atuh. Sesampainya di pantai itu, aku mendapatinya sebagai pantai yang begitu tenang, sepi. Hanya ada 4 orang di situ yakni aku, Febri, dan dua kawan yang berasal dari desa tempat aku menginap yang mengantarkan kami ke sini. Oya, setelah itu ada dua orang lagi dari suatu yayasan datang.

Jadi minggu siang ini di Pantai Atuh hanya ada kami berenam. Tenang sekali rasanya, Din.

Semoga doa-doa ini didengar alam.
Tidak perlu aku jabarkan ya Din.
Biarkan bisikannya hinggap pada butir-butir pasir di tepian
Terbang oleh angin lalu disampaikan-Nya padamu

Oya, bukan berarti aku tidak ingin mengucapkan secara lisan. Jadi jangan lupa ya nanti mengecek video singkat yang aku tautkan padamu ;)

Terakhir Din,
Someone wrote, Allah knows who belongs in our life and who does not. Trust and let go. Whoever is meant to be there, will still be there.

Aku hanya kangen mengerjaimu bersama teman-teman lain, seperti yang dilakukan 4 kali berturut-turut dalam tahun-tahun terakhir kemarin. Dian, terimakasih sudah menjadi teman yang teramat baik dari sejak pertama kita bertemu :”)





Senin, 07 Oktober 2013

Rumah dan sepi.

Di mana rumahmu?” tanya anak itu pada saya saat kami tergesa menyusur setapak.

Rumah? Di sini salah satu rumahku,” sahut saya.

Oh, berarti ada yang lain ya. Dimana?” tanyanya lagi.

“Keluargaku juga rumahku,” kata saya.

Ada lagi selain itu?”

--- 



Rumah.



Rumah bagi saya adalah orang-orang atau tempat-tempat yang saya ingin kembali lagi dan lagi. Dimana saya berucap syukur -untuk kesekian kalinya atas izin Sang Pemilik- ketika dapat dipertemukan kembali dengan orang-orang atau dapat menapakkan kaki lagi di tempat tersebut. Kenyaman dan ketenangan adalah dua kondisi perasaan yang saya temukan ketika berada di rumah. Dua rasa, nyaman dan tenang, mungkin inilah sebabnya kata rumah berkerabat dekat dengan kata cinta. Sedang mencintai menurut hemat saya adalah menumbuhkan, menjaga, kemudian mengajak orang-orang yang kita sayangi untuk berusaha bersama menetapi apa yang terbaik menurut-Nya. Betul, yang terbaik menurut-Nya, bukan lagi yang terbaik menurut saya.



Dari masih pendeknya perjalanan yang saya tempuh di bumi, ini dia rumah saya;

Bapak, ibu, dan Ratri.

Jangan salahkan aku Rat, kalau membuatmu kesal dengan menggelitiki telapak kakimu, usil menyeret selimutmu saat adzan subuh telah berkumandang tapi kau masih menggeliat di kasurmu. Itu aku lakukan karena aku mencintaimu. Toh kau juga sangat menyebalkan pernah mengganggu tidur siangku. Tapi terimakasih, kau begitu karena tak mau aku melewatkan dhuhurku bukan?;) 

Kemudian Pakeh, satu desa yang saya pernah sebentar tinggal disana setahun lalu. Dengan dua orang terdekat yang sudah seperti ibu dan kakak saya sendiri, yakni Makdah dan Mbok Tik, begitu saya biasa memanggil beliau berdua. Sampai bertemu akhir minggu ini ya Makdah, Mbok Tik, InsyaAllah.

Itu dua rumah utama saya. Sedang mencoba berjalan lebih jauh, siapa tahu saya dapat menemukan rumah lain lagi di depan sana :)

Masih tentang rumah.

Satu lagi. Rumah yang saya belum pernah menapakkan kaki di sana. Rumah dimana saya berharap disana akan dikumpulkan bersama orang-orang yang saya sayangi. Rumah yang baru hanya bisa saya bayangkan dari apa yang tertulis di buku-buku, penggambarannya tergores pada kitab.

Dikatakan bahwa di rumah ini mengalir di bawahnya sungai-sungai. Penghuni rumah ini memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal duduk-duduk bersandar di atas dipan-dipan yang indah. 

Dikatakan juga bahwa rumah ini bertempat di atas langit ke tujuh, dekat Sidratul Muntaha.

‘Rumah’ tempat kembali dengan tiada pembanding, yang membuat Asiyah bertahan atas kezaliman Firaun. 

Adalah satu siang dengan sinar mentari yang menyengat ketika Asiyah diikat sebanyak 4 ikatan pada kedua tangan dan kakinya pada tiang-tiang yang dipatok ke tanah. Suaminya berlaku seperti itu berharap agar keimanan sang istri kembali padanya. Apa yang terjadi? Asiyah memegang teguh keyakinan pada Allah. Dalam penyiksaan oleh Fira’aun, Asiyah berdoa agar dibuatkan rumah di sisi-Nya, dan diselamatkan dari kekejaman Fir’aun dan dari kaum yang zalim. Allah dengan kekuasaan-Nya memperlihatkan tempat tinggal wanita ini di surga. Bertahanlah Asiyah. Ketika algojo suruhan Fir’aun kembali menanyakan bagaimana keimanannya, Asiyah menjawab tetap pada pendiriannya. Kemudian sesuai perintah Fir’aun, bila Asiyah tidak juga mengubah iman menjadi padanya maka algojo diperintahkan untuk memukulkan batu ke kepala wanita ini. Selesai dia menjawab, algojo mengangkat batu bersiap-siap memukulkannya ke kepala Asiyah. Namun pertolongan Allah mendahului siksaan algojo. Allah memerintahkan malaikat Izrail mencabut nyawa Asiyah, sesaat sebelum batu besar dipukulkan ke kepalanya. 

Asiyah, salah satu dari empat wanita utama penghuni surga. Wanita ini mendapatkan tempat di sisi Allah, di ‘rumah’ tempat segala amal baik dibalas. Rumah dengan pesona yang dahsyat;)

Ehm, sesungguhnya kita semua dalam perjalanan pulang ke ‘rumah’ bukan?

Pada beberapa kesempatan dalam perjalanan pulang ini kita bertemu orang-orang, kemudian bersama berjalan. Jalanan ini sungguhlah luas sehingga satu dua urusan membuat orang berjalan berdua-dua, berkelompok, pun ada yang sendiri memisahkan diri, memilih jalan lain memutar, mengambil jalan ke sebelah kanan atau kiri, menurut pada prioritas masing-masing. Bertebaran di muka bumi. Meski mengambil jalan yang berbeda, tapi tetap, tujuan kita sama bukan? 

Kadang spekulasi-spekulasi buah pikiran membuat kita merasa sedang berjalan sendiri. Tetapi Ya Rabb, sejatinya kita tak pernah sendiri bukan? Maafkan makhlukmu yang berpikir demikian Ya Rabb. Seperti pagi ini ketika mendapati ada yang tidak beres dengan hati. 

Alasan yang sepele saja. Hanya karena berharap terlalu berlebih pada sesi melingkar kemarin. Ingin bertanya, mengajak berbagi, tapi kemudian kecewa karena tidak seperti yang diharapkan. Tentu hal seperti ini sudah menjadi urusan yang diatur oleh-Mu. Setiap orang pastilah memiliki prioritas masing-masing yang begitu mendesak. Jadi siapa saya mau mempermasalahkan hal tersebut? Agaknya dari hal ini saya dibuat belajar lagi; untuk selalu memperbaiki niat dan berharap hanya pada-Mu.

Dari ketidakberesan rasa tadi, saya coba berkirim pesan pada seorang kawan. Lalu dia pagi ini menjadi ‘perpanjangan tangan-Mu’, memahamkan satu hal yang sudah dituliskan oleh-Mu. 

“Reni lagi di deket-deket Qur’an ngga Ren. Aku tunjukin satu ayat yang ruaaar biasa. Oke sip Al Baqarah ayat 38 ya Ren. Coba kita baca bareng-bareng. Ada yang agak ‘janggal’ ya pilihan katanya. Kan Gusti Allah ngendika: maka BARANG SIAPA mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada MeEREKA dan mereka tidak bersedih hati. 

Nah itu Reni. Kira-kira Allah lagi bicara sama siapa itu. Kalo Reni buka terjemahan per-ayat, Reni bakal tahu kalo faman tabi’a (barang siapa mengikuti/ beriman/ taat) disana me-refer ke satu orang Ren. Personal. Gusti Allah mau ngendika ke kita aja sendiri.

Lho padahal kan abis itu Allah ngendika: khoufun ‘alaihim ya Ren. Yang artinya rasa takut atas MEREKA. Aneh ya Ren, kok ngga dari awal aja Allah ngendika: Maka mereka yang ikut petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka, dst. Eh malah ngendika: Maka SIAPA YANG (personal individu) ikut petunjuk-KU, dst. 

Tau ga Reen, ternyata kenapa Allah bilang begitu ya Ren, karena Allah itu tahu kalo kita pada suatu saat tertentu bisa jadi memang akan sendirian Reen. Jadi Allah secara personal berbicara sama kita: faman tabi’a. Diperintahkan secara personal individu, kepada kita, mengikuti petunjuk Allah. Apapun keadaannya. 

Percayalah ren, di luar sana mungkin ada saudara kita yang lagi co-ass di timor leste atau manapun. Sendirian. Tapi lagi-lagi: faman tabi’a. Biarpun sendirian, dia tetep yakin sama Allah. Sama pertolongan dan petunjuk Allah. Yakin ngga masalah walaupun sendirian, It’s oke. Dia yakin nanti Allah siapkan satu kompi barisan temen-temen yang sama-sama baris di jalan Allah jadi ngga sendirian lagi.”

Kemudian teringat pada kisah Asiyah, yang lalu saya selipkan di atas. Anak ini  juga mengingatkan tentang perang Uhud dimana pasukan yang meski sedikit tetap dibagi dua oleh Rasul, pasukan bukit dan pasukan berkuda, sehingga satu dapat membantu yang lain, saling mengawasi dari kejauhan. Dua contoh yang cukup menjadi pelajaran. 

Membacanya kemudian membuat hati kembali nyaman, tenang. 

Tapi pada dasarnya kita memang tidak pernah benar-benar sendiri,

Gusti mboten sare. 

Baiklah, kali ini saya sedang dalam perjalanan pulang. Mau seperti apakah perjalanan ini saya isi dan bagaimana juga ke depannya? Berbuat selagi bisa dan saya tulis saja sembari menunggu kejutan kejutan.

Semangat yuk ah! Hoho.

--- 

Oya satu lagi. Ini untukmu sang pemilik tulang rusuk -yang aku masih belum tahu siapa-, aku berdoa agar nanti saat berjalan bersamamu, kemanapun itu, aku bisa merasakan bahwa ‘rumah’ itu dekat.