Rabu, 25 Desember 2013

Namanya Hanuna

Rabu sore minggu ke-empat.

Dia menoleh ke belakang. Tiga kali bertatapan mata dengan saya, sebanyak tiga kali itu pula kami saling melempar senyum. 

“Hanuna.”

Anak perempuan itu menjawab saat saya bertanya siapa namanya. Senyum manis tergaris di bibir mungilnya saat melafalkan ‘hanuna’, senyum yang sama saat dia menoleh tadi. Dia mendekat, memperhatikan buku dengan halaman yang sudah setengah penuh terisi.
Memiring-miringkan kepala, mensejajarkan pandangan matanya dengan tulisan di buku mencoba mengeja kata-kata yang menyusun kalimat. Seketika ia melepas mukena yang membalut ujung rambut hingga ujung jari kakinya, menampakkan muka bulat dengan rambut pendek sebahu, melipat sekedarnya lalu dia melangkah cepat menuju selasar. Saat saya mengintip melalui jendela, selasar kosong.

Tak lama kemudian Hanuna kembali ke ruang utama, menggenggam sebuah pulpen dan buku dengan cover biru tua. Saya tak terlalu memperhatikan kedatangannya, kalimat kalimat yang diucapkan pembicara di depan membuat saya hanya menoleh sekilas pada anak perempuan yang sudah kembali duduk jenak di samping saya, dia sibuk mengenakan kembali mukenanya.

“Tadi bapaknya bilang apa ya, hanuna denger ngga?” saya menoleh bertanya pada Hanuna, merasa terlewat beberapa kalimat yang sepertinya penting. Menulis kalimat-kalimat dengan cepat seperti ini menuntut tangan dan telinga terkoordinasi dengan baik. 


“Ngga denger hehe,” kata Hanuna sambil menyunggingkan senyum dengan sederet gigi putih yang rapi. Saya, yang awalnya bertanya serius ke hanuna dengan masih terbawa suasana penyampaian materi, kemudian ikut tertawa kecil, berpura marah memperlebar mata memperlihatkan sederetan gigi sambil mencubit pipi tembemnya. Hanuna tetap pada senyumnya.

Telunjuk mungil Hanuna menunjuk satu kata di buku tulis saya.

“Ini apa kak tulisannya?” tanya Hanuna sambil tak melepaskan pandangannya dari kalimat di buku, dahinya berkerut kerut. 

“Itu ‘kita’. Itu ‘k’ ya Nun,” jawab saya. Kepala k terbaca seperti huruf R membuatnya ragu dengan kalimat yang terangkai. Iya betul, Hanuna ikut mencatat, dan saya baru menyadarinya. Saya mengamati kalimat-kalimat yang ia tuliskan.

“Hanuna nulisnya mulai dari sini aja, itu udah lewat setengah,” kata saya sambil membalik ke lembar sebelumnya. “Poin-poin yang ini aja Nun,” kata saya sambil menunjuk tulisan dengan nomor-nomor di depannya, karena saya lihat dia mencatat kalimat-kalimat dari catatan di pertengahan materi. 



Lima belas menit kemudian bapak di depan menngucapkan kalimat penutup, mengakhiri hal-hal yang disampaikannya. Hanuna masih sibuk mencatat. Membalik lembar-lembar dari catatan saya.

“Besok ke sini lagi nggak?” katanya menoleh pada saya.

“Besok magrib? Belum selesai ya nyatetnya?” tanya saya. 

Hanuna mengangguk. 

“Mau liat lagi catetannya ya, tapi jam tuju-an aku ke sininya. Soalnya kalo besok magrib mau sholat sama mae di rumah,” katanya sambil senyum, matanya menyipit.

“Emang besok pagi Hanuna kemana? Sekolahnya lagi libur bukan?” tanya saya.

“Libur dah sampe besok senin baru masuk lagi,” katanya sambil menutup buku catatanya. “ kalo libur suka maen sama ibu kalo pas lagi di sini, tapi kalo ibu lagi baik ke Badung buat kerja buat setoran ya diem aja di rumah,” sambungnya dengan maish menyunggingkan senyum kanak-kanak.

“Tapi ibu jarang pulang, terakhir pas kapan itu libur sekolah. Kemarin aku habis dari Badung, sakit pantatku dibonceng lama sama kakek hehe, katanya dengan polos.

“Bapakku udah ngga ada dari pas aku masih di dalem perutnya ibu,” kata Hanuna.

Eh, bapaknya sudah tidak ada? 

Saya menghentikan keriweuhan memasukkan barang-barang ke dalam tas, beralih menatap wajah Hanuna.  Ringan saja, tak tampak raut kesedihan.

“Oh,” sahut saya spontan. Rasanya, entahlah sore tadi saya bingung menyahuti pernyataan Hanuna yang ringan saja menyatakan hal itu. Begitu ringan untuk anak sekecil Hanuna.

“Aku anter ke rumah ya,” kata saya kemudian.

“Ngga usah, deket dari sini kak. Di situ aja,” katanya sambil menunjuk bagian luar ruangan. 

“Oh gitu. Eh besok pagi kalo libur terus ngga ada ibu Hanunah kemana?” tanya saya lagi sambil kembali merapikan barang bawaan. 

“Ya itu tadi kak. Diem di rumah, atau main sama temen ke pantai,” jawabnya.

Pantai katanya.

“Dimana pantainya?” tanya saya bersemangat padanya.

“Itu di sana, dekeeet,” jawab Hanunah dengan wajah yang mengatakan ‘ituh pantainya deket di situ aja’ dengan tangan menunjuk ke satu arah.

“Besok pagi ke sana yuk, anterin aku. Aku ngga tau jalan ke pantai di sini,” kata saya sambil meringis. 

“Jam berapa?” jawabnya sambil senyum lebar.

“Hmm. Jam sembilan gimana?” kata saya.

“Asik besok main ke pantai,” kata Hanunah sambil tersenyum lebar.

Senyum lebarnya itu membuat matanya jadi tampak lebih sipit.

“Berarti besok kakak ke rumahku ya, ketemu di depan rumah gimana?” kata Hanunah kemudian.

“Yaudah, sekarang aku anter pulang ya makanya. Biar besok aku bisa langsung nunggu di depan rumah,” kata saya mengulang tawaran sebelumnya. 

“Aku ambil sandal dulu ya kalo gitu kak,” katanya seraya keluar dari ruang utama menuju ke tangga di samping bangunan. 
--- 

Hanuna membonceng, duduk di bagian depan di belakang stang motor. Tinggi untuk anak seumurannya tak mengahalangi pandangan saya ke depan, untungnya. Ternyata benar dekat saja, keluar dari lokasi bangunan kemudian berbelok ke kiri. Kurang lebih hanya berjarak 10 meter di sebelah kiri jalan ada pintu terbuat dari triplek yang dicat biru muda. Hanuna membuka pintu itu. Tampak di ujungnya sebuah lampu menyala redup. 

“Besok berarti langsung ke sini ya kakak?” 

“Oke siap hanuna,” saya mengangguk mantap sambil mengacungkan jempol. “Udah sekarang masuk Nun, ntar ditunggu sama orang di rumah. Masuk Nun, dadah dadaah.”

Hanuna tersenyum, melambaikan tangan pada saya lalu berbalik kemudian menutup pintu triplek. Menunggu pintu tertutup rapat kemudian saya berlalu. Hati ini tiba-tiba 'gerimis'.
---

Ini rabu ke-empat. Pada dua pekan pertama saya dipertemukan dengan Bu Satimah. Pekan ketiga saya sedang berhalangan. Kemudian ini adalah pekan ke-empat, saya tak menemukan Bu Satimah. Saya ingat tadi melangkah ke halaman tersenyum kecil dengan ada harap, sudah rasa rindu untuk bertemu lalu memulai lagi obrolan-obrolan dengan beliau. Masuk ruang utama saya menoleh kanan-kiri, tapi Bu Satimah tak tampak rabu sore ini. Kemana ya Bu Satimah? Besok mungkin saya akan coba ke rumah anak beliau, semoga saya bisa menemuinya. 

Lalu rabu sore ini ada Hanuna. Sebentar saja kami rasanya sudah menjadi teman baik. Mata cemerlangnya, semangat untuk mencatat, sedikit cerita hidup yang tadi diutarakan, lalu rasanya ada tangan-tangan tak tampak yang diarahkan-Nya untuk menepuk ramah bahu saya.

Maka pada rabu sore untuk empat pekan ini ada dua nama yang dengan rencana-Nya kemudian tiba-tiba sudah melekat saja di hati. Dari cerita-cerita yang disampaikan, dari ketulusan yang dapat dirasakan, dari cerita hidup yang kemudian ‘mengetuk’ lubuk, dari tatapan-tatapan yang meluluhkan.

Bu Satimah dan Hanuna, pada rabu sore empat pekan terakhir ini. 
---

Kamis, 26 Desember 2013.

Pagi ini kami tak jadi menyusur pantai, mae menganjurkan kami untuk main di rumah saja. 'Angin kenceng mbak, dan ini sedang panas-panasnya' begitu kata mae. Mae, begitu Hanuna memanggil  neneknya. Begitulah, pagi ini ini saya berdiam di rumah mae untuk ngobrol-ngobrol.

Mae bercerita bahwa beliau bekerja menyapu halaman masjid setiap hari. Selain mae dan Hanuna, yang menempati rumah itu ada suaminya. Ibu Hanuna kadang pulang saat ada libur panjang dari tempat dia bekerja.

"Hanuna cita-citanya jadi apa?" tanya saya saat Hanuna menulis di bukunya.

"Mau jadi dokter," kata Hanuna sambil menoleh dengan senyum yang sama seperti senyum saat sore kemarin saya pertama kali mengenalnya

"Wah pasti bisa, yang semangat belajarnya ya Nun. mau jadi dokter apa?" tanya saya lagi.

"Hmmm.. pokoknya dokter. Biar kalo mae sakit nanti berobatnya gratis. Ya mak ya," sahutnya sambil memandang mae.

"Sejak bisa ngomong dia sering sering sekali bilang mau jadi dokter mbak. Semoga saya dikasi umur panjang, biar bisa ngerawat Hanuna. Ibunya juga semoga dikasi rejeki biar bisa nyekolahin Hanuna sampe bisa jadi dokter," kata mae.

dipertemukan dengan mae dan Hanuna pada pagi-Mu yang kesekian. Pagi-Mu yang selalu bisa memberikan tepukan-tepukan ramah :")

Pada Sang Pemilik, 
Yang Maha Mendengarkan, Yang Mengabulkan doa-doa.
Saya meng-aamiin-i ucapan-ucapan Hanuna dan mae pada pembicaraan kami pagi ini. 
---

Hanuna pagi ini saat saya membuka pintu triplek bercat biru. Anak perempuan itu sedang berdiri di atas kursi kayu, berusaha mensejajarkan wajahnya dengan kaca yang ada di atas tumpukan genteng, membedaki wajah mungilnya.



---

Sungguh Kau nyata ada, dan begitu dekat. 

Maka aku sampaikan terimakasih lewat salah satu rumah-Mu, yang pada tiga rabu sore di belahan utara tanah ini Kau selipkan kemudian rasa haru dan rindu. Untuk selalu menjaga, dan kembali menumbuhkan tunas-tunas baru.

Jauh memang tak pernah benar-benar jauh, karena Kau selalu mendekatkan pada siapa dia perlu didekatkan. Begitu bukan? 

Sabtu, 21 Desember 2013

Ibu yang seperti ibu

Beberapa bulan lalu 

percakapan di satu sesi telepon 

Adek : "Aku lagi di rumah loh, week."

Saya : "Ih enak banget, lagi ngapain kamu di rumah?"

Adek : "Lagi mau ambil barang di rumah. Tau ngga, mosok tadi sore ada yang lucu. Kata ibu ayam-ayamnya pinter lho hahaha. Jadi kalo sore ibu kan suka ngecek ayam-ayamnya udah masuk kandang apa belum kan Mbak Ren. Terus tadi ibu ke samping rumah, pas sampe di tangga undak undakan ibu liat ayam-ayamnya lagi antri buat masuk kandang. Kata ibu ayamnya bisa terbang masuk sendiri ke kandang, padahal kan lumayan tinggi tho itu batu-batu sama pintu masuk kekandangnya. Terus yang lucu juga ibu habis ngeliatin semua ayamnya masuk kandang ibu terus cepet cepet masuk rumah, njuk habis itu ibu nyeritain ke aku sambil meragain ayamnya terbang. Ibu masang tangannya di samping badan terus dikepek-kepekkin kaya sayap ayam lagi terbang hahaha. Lucuuu pokoknya Mbak Ren ibu tadi pas nyeritain."

Terkikiklah saya mendengar cerita dari si adek :’D

1 Desember 2013 
pada sebuah pesan singkat

Ibu : "Assalammualaykum lagi apa mbak? aku mau renang nih."

Saya : "Waalaykumsalam bu, aku mau ada kegiatan. Oke selamat renang ya bu, hari ini sampai apa hafalannya ibu?"

Ibu : "Ok sipsip aku lagi hafalan Al Adiyat .. Kuda terbang."

Mmm.. kuda terbang? Ada yang janggal rasanya. Lalu saya buka Al Quran dengan terjemahan.

Saya : "Ibuuu, Al Adiyat itu kuda perang bukan kuda terbang bu hehe. Sipsip semangaaat!"

Ibu : "O iya, kudanya ikut perang, hingga debunya terbang. Di waktu subuh dia menyerang."

Saya : ....

ibu ini :”)
--- 

Ibu, begitu saya memanggil beliau, adalah wanita tangguh favorit nomor satu. Pemerhati segala hal, yang makro juga mikro, yang memperhatikan kebutuhan untuk hidup saat ini dan kehidupan sesudah ini.

Sulit bagi saya mendeskripsikan detail ibu yang seperti ibu. Saya hanya ingin berterimakasih pada bapak yang sudah memilih ibu, begitu juga pada ibu yang sudah menetapkan bapak, mendampingi satu sama lain. 

Mendefinisikan dalam hemat kata, menjadi ibu yang seperti ibu adalah ketika suatu kali wanita diberi kesempatan memiliki peran sebagai anak, istri, teman, pendengar yang baik, bendahara, koki, pendongeng, guru hafalan surat pendek, guru les, juga peran-peran lain, yang dilaksanakan dalam waktu bersamaan. 

Menjadi seorang ibu yang seperti ibu itu, mengesankan :”)

Saya hanya mau bilang, saya sayang sekali sama ibu yang seperti ibu, semoga padamu tak pernah lepas Allah limpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya. 

Rabbi firli wali wali daya warhamhuma kamma rabbayani shaghira.




Patutlah kita mengucap syukur dek, diberi sama Allah seorang ibu yang seperti ibu.

--- 

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)

Away (?)

It is not actually away from home. Away is if I find myself in the middle of nowhere standing on an unknown place on other continent with people around whom I can’t talk to anyway. Defining ‘away’ here, so I stare at a face at the mirror, showing a girl on a chamber with a bulk of the ‘unidentified’ feeling, the bulky hunk won’t disappear even a deep breath made, knowing people around that they always used with, then those people may gather at any time they want. Then for that girl, unlikely, that sort of condition keeping her sitting just there *hey, life is about choices!* Trying to heal the bulky awkward feeling by reading, browsing anything related the comforting way. Those reduce just a bit. And yes the coming period, the hormonal cycle, may probably affecting, maybe. 

Randomly read this once more.

“How can one be drop dead gorgeous while the other is nothing to gobble at?” 

Feeling such the one who is nothing to gobble at, by You :(

Looking back these few months, so this awkward feeling supposed to be the accumulation of the self bargaining, disparaging the little things which turn to disparage the bigger ones :(

A so bad dependence is that how I miss several sharing occasions, means when I am actually talking to someone, so bad, keeping in mind that You are always here closer by everybody’s side than anyone else. The Best Listener who will always perceiving our wishes are Your utmost important sentences we whispered.

Texted a friend of mine, and she answered," Sometimes loneliness needs to be enjoyed. Enjoy till it run out of the quota, then 'voila' the happiness will eventually coming in."

There should no 'but'. What else I can do other than keep doing the dos and away from the don'ts? yes, no more bargaining. Please always be by my side, Rabb. 

I seek forgiveness from You. 

Wahuwa ma'akum ainama kuntum. 

Jumat, 20 Desember 2013

Capungan Banggai

Banggai, dengan laut berair jernih berpasir sewarna terigu. Kata seorang kawan baru, kalau kita naik perahu berkeliling ke sekitaran pulau kemudian melongokkan kepala ke dasar laut dangkalnya, maka seperti melihat ikan di akuarium, biru bening. Hmm katanya lagi, sebetulnya tak perlu perahu atau berenang jauh dari tepian, alam menyajikan pemandangan menakjubkan di bawah air dengan berenang dekat-dekat saja.

Banggai, syukurlah kabarnya tak dipadati pengunjung, masih sepi. Salah satu dari banyak pulau lain di Indonesia yang masih orisinil, masih virgin.

Maukah kau menemaniku ke sini? Kita akan berkunjung ke Banggai pada satu kesempatan nanti. Menjejakkan kaki di pasir sewarna terigunya, berenang di sekitaran pulau melihat apa yang dideskripsikan kawan baru ini  padaku.
---

Sore tadi di Penuktukan.

“Sebelum pulang makan dulu ya Mbak Reni,” kata Pak Wid saat saya beberes memasukkan barang-barang ke dalam tas.
“Pak Wid ini repot-repot, saya nanti makan di jalan aja Pak,” kata saya menolak dengan halus, mengingat matahari segera menghilang kurang lebih satu jam lagi, yang berarti jalan raya singaraja-amlapura akan gelap.
“Ayo Mbak Reni, sekalian sama temen-temen ini, tinggal makan aja udah disiapin semua sama ibu,” kata Pak Wid lagi.

Saya yang sedang duduk di teras rumah melongokkan kepala ke bale bengong. Ternyata benar, makanan sudah siap tersedia, empat orang lain sudah duduk di bale.

“Wah oke deh Pak, saya boleh bantu habisin ini ya Pak,” kata saya kemudian. Merasa tidak enak setelah ngobrol mendapat banyak info dari beliau kemudian menolak tawarannya. Saya membereskan barang bawaan, beranjak dari teras menuju bale bengong.

Ada 5 orang duduk bersila makan di bale bengong pada sore menjelang malam kali ini; saya sendiri, Pak Wid pemiliki rumah, Matthew bule Amerika yang sedang menjadi volunteer untuk satu lsm lokal di Penuktukan, kemudian ada Mas Emi dan Mas Rafi.

Sambil menyendok sayuran dan lauk Pak Wid bercerita, meski tinggal di tepi laut beliau tidak bisa makan ikan laut sejak kecil. Sudah mencoba memaksa tetap saja tidak bisa. Entah mengapa katanya. Saya pikir sayang sekali, karena masakan ikan laut di tangan istri Pak Wid bisa lezat begini.

Pak Wid menyampaikan Matthew ini orang amerika yang sedang jadi volunteer untuk kegiatan salah satu lsm untuk promosi kegiatan di Desa Les dan Penuktukan. Dari obrolan singkat Matthew bercerita bahwa dia baru dari Korea, menetap 2 tahun di Pulau Jeju untuk mengajar Bahasa Inggris. Dia mengambil studi mengenai bisnis dan ilmu kelautan, untuk itu dia ingin membantu pengembangan program di Bali utara dalam kegiatan volunteer kali ini.

“Wah asik sekali ya Matthew jalan-jalan terus hehe. Habis ini kemana lagi tujuanmu? ” kata saya.
“Saya cuma mau cari pengalaman sebanyak-banyaknya di luar amerika, nanti pas saya kembali ke sana pasti banyak yang sudah berubah, teman-teman, lingkungan, tapi ya saya senang dengan begini. Dua minggu lagi saya terbang ke Singapore, kemudian mau menyeberang ke Sumatra, menyusur Sumatra dari utara ke selatan lalu menyeberang ke Jawa,” kata Matthew dengan bahasanya, bercerita dengan wajah sumringah menantikan perjalanan berikut.
“Aku ini suka iri sama orang sepertimu, masih muda sudah mengunjungi banyak tempat,” komentar saya. Berdasar taksiran saya Matthew ini berumur sekitar 25an, dari ceritanya yang baru saja lulus pendidikan bachelor.
“Yah, yang paling utama adalah menikmatinya bukan,” katanya yang saya balas dengan menunjukkan sederetan gigi sambil mengangguk-angguk.
Saya bertanya pada Mas Emi dan Mas Rafi,” Mas Emi sama mas Rafi ikut kegiatan volunteer juga ya?”
“Iya Mbak, ini barengan kami berdua ke sini dari Banggai,” kata Mas Emi.
“Waaw jauh-jauh dari Sulawesi ceritanya ya mas. Kok bisa tertarik ikut kegiatan di bali utara mas?” tanya saya penasaran.
“ Awalnya kami udah sering kontak sama salah satu lsm di sini, mereka juga secara berkala ke Banggai buat monitoring terumbu karang, mangrove, sea grass juga. Suka cerita-cerita, kami dengar di sini lagi dibuat kawasan konservasi kan ya Mbak. Berapa waktu lalu bilang sama ibu ketuanya, terus ditawarin ke sini buat belajar. Akhirnya kami berdua ke sini,” jawab Mas Emi.
“ Oh gitu mas, iya ini saya juga lagi ikut belajar deket-deket laut hehe ,” kata saya sambil menyendok sayur.
“ Banggai itu Mbak, sejak otonomi daerah ditetapkan 14 tahun lalu, lautnya ngga pernah disentuh. Padahal Banggai sendiri luas wilayah lautnya empat kali dibanding luas daratannya, potensinya melimpah,” kata Mas Rafi.

Terhenyak, menghentikan makan. Mengalihkan pandangan pada Mas Rafi.

“Sudah ada usaha pendekatan ke pemerintah Mas?” tanya saya.
“Sudah berkali-kali Mbak. Tapi sampai sekarang pemerintah belum berpihak pada kami.”

Lagi lagi kebijakan, birokrasi.

“Gitu ya Mas. Hmm.. Kalau di Bali utara ini mas, khususnya di Buleleng ada anggaran pemerintah yang memang dialokasikan untuk pembelian alat selam, atau misalnya untuk kegiatan rehabilitasi terumbu karang bisa dialokasikan untuk pembuatan heksadome gitu Mas. Mungkin bisa juga ngajuin yang seperti itu Mas di sana? Maksud saya misalnyapun pemerintah belum berpihak, kalau ada anggaran dana yang dialokasikan buat kegiatan semacam itu bisa ngajuin proposal buat bergerak di bawah,” kata saya.
“Wah Mbak, Dinas aja belum punya alat selam, gimana kami mau minta ke sana. Pemerintah kami belum ada perhatian ke laut. Sejak 14 tahun otonomi daerah diberlakukan, ada dinas yang judulnya kelautan sampai sekarang belum punya alat selam, kalo perlu data selalu mengandalkan lsm. Kami pernah mengajukan tentang pembentukan Daerah Pemanfaatan Laut (DPL, atau kawasan konservasi perairan laut di tingkat desa/ masyarakat lokal) tapi ditolak alasannya selalu perlu data,” Mas Rafi menimpali.
“Kalau data lapangan memang perlu kan ya Mas untuk pembentukan kawasan pemanfaatan,” sahut saya.
“Iya Mbak lsm ini secara berkala ke Banggai buat ngadain monitoring, setidaknya kami mulai terbantu untuk pengadaan data. Kami kirim juga foto-foto ke yayasan lain. Kalo ngobrol gini siapa tau dari Mbak nanti bisa juga ngadain monitoring di Banggai,” kata Mas Rafi.
“Hmm coba saya catat dulu ya Mas. Kalau untuk dive operator atau resort di Banggai gimana Mas? tanya saya.
“Belum ada satupun dive operator di sana Mbak. Penginapan ada tapi jauh sekali dari pesisir.”
“Kalau mulai deketin masyarakat buat bikin semacam homestay gitu Mas?”
“Sudah Mbak tapi susah sekali, masih gimana gitu pemikiran masyarakatnya. Padahal kan ini nanti akan jadi pemasukan juga buat mereka. tapi saya pikir kalau nanti sudah ada yang berhasil satu, yang lain akan lebih mudah untuk diajak kerjasama,” kata Mas Rafi.
“Betul Mas Rafi. Tapi dari awal memang perlu sekali pemahaman tentang keberlanjutan kan ya Mas, takutnya nanti kalau suatu hari terkenal, kemudian dieksploitasi habis sudah, hehe,” kata saya.
“Iya Mbak, sedih juga kalau jadi begitu.”
---

Banggai.
Pulau ini masuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Tengah. Pada tahun 2012, Kabupaten Banggai mengalami pemekaran sehingga terbagi menjadi Kabupaten Banggai Kepulauan dan Kabupaten Banggai Laut. Sampai tahun ini Kabupaten Banggai Laut dipimpin oleh Bupati Pelaksana Tugas karena belum ada pemilihan Calon Bupati. Dari data yang didapat di internet, Banggai memiliki wilayah laut mencapai 18.800 kilometer persegi. Wilayah laut yang cukup luas untuk sebuah kabupaten, didukung dengan potensi melimpah yang terlalu sayang untuk tidak dihiraukan. Mas Rafi dan Mas Emi adalah anggota dari Kelompok KALI (Katulistiwa Alam Lestari) yang sudah menginisiasi kegiatan-kegiatan untuk mengembangkan wisata bahari dan peningkatan kepedulian terhadap laut di sana. Satu imbuhan informasi, ketika menanyakan tentang metode penangkapan ikan karena saya dengar kawasan timur masih marak penangkapan dengan menggunakan dinamit Mas Rafi menyampaikan bahwa ternyata Banggai ini adalah pusat dari peredaran bahan bakar ledak. Barang dipasok dari Kalimantan ke Banggai, kemudian disebar ke pulau-pulau sekitar, ke Papua, ke Maluku dan lain-lain. Waktu saya tanya lagi tentang bekas-bekas pemboman Mas Rafi tersenyum kecut. Betul, ketika snorkeling tak jarang ditemukan lahan-lahan bekas pemboman yang teridentifikasi dari diameter-diameter substrat yang merata gundul yang dikelilingi bangun karang di luaran diameter yang terbentuk.
---

“Itu kenapa kami berusaha untuk mengajukan pembentukan kawasan konservasi laut, Mbak.”

Betul, agar yang cantik ini dapat dipertahankan. Kalau dari bawah sudah ada inisiasi dan kemauan seperti ini, semoga nanti menjadi lebih mudah ketika kebijakan sudah berpihak pada Mas dan teman teman. Seperti yang Mas Rafi dan Mas Emi sudah pahami. Menjual tanpa merusak, ada cara lain untuk memanfaatkan dengan baik agar tetap lestari.

“Oya, Mas Rafi tadi menyinggung tentang souvenir yang sudah diekspor. Souvenir apa mas kalau boleh tau?” tanya saya.
“Oh, ini Mbak,” kata Mas Rafi sambil melepas kalung yang dikenakannya.

Handmade Cardinalfish  yang terbuat dari batok kelapa
Capungan Banggai atau dikenal juga dengan Cardinalfish, biota laut endemik penghuni laut Banggai. Berhiaskan sisik di tepian serupa manik-manik perak dengan sirip ekor menjuntai indah. Souvenir dibuat sendiri oleh personil Kelompok KALI dengan berbahan dasar batok kelapa, handmade souvenir. Buah tangan ini didistribusikan ke bandara, ke beberapa tempat tempat penjualan oleh-oleh, dan tempat lain yang sarat pengunjung. Seperti yang disampaikan Mas Rafi, buah tangan Capungan Banggai ini sudah diekspor sampai ke Florida. Selain buah tangan ini, komunitas juga membuat kaos bergambar serupa, tapi distribusinya masih diperuntukkan bagi warga lokal.

Ini dia Mas Rafi dan Mas Emi dengan kaos dan kalung Capungan Banggai.


Mas Emi dan Mas Rafi

Untuk melihat ‘wajah’ bawah laut Banggai bica coba browsing ya teman-teman :)

 ---

Bagaimana, bersediakah menemaniku ke Banggai? Kita bisa terbang ke Luwuk. Lalu dari Luwuk kita akan naik kapal selama 7 jam langsung menuju Banggai Laut, katanya ini adalah cara paling mudah dan nyaman untuk mencapai pulau itu. Betul, 7 jam menyeberang. Tidak mengapa bukan? Di situ kita akan bercerita banyak sambil merencanakan perjalanan-perjalanan berikut. Yuk, kita ke sini :)

Senin, 02 Desember 2013

Baywatch lokal dan substrat unik di Pemuteran

“ Penjaga pantainya serem. Badannya gede-gede, kalo ada tindakan pengunjung yang ngga bener langsung diteriakin dari pinggir sambil nuding-nuding.”

--- 

Tiga minggu lalu saya berkesempatan mengunjungi Pemuteran, satu wilayah di Bali Utara yang terkenal dengan aplikasi metode biorock untuk rehabilitasi terumbu karang. Metode biorock yang diterapkan di sini dinilai berhasil dilihat dari recruitment karang yang terjadi dan pertumbuhan karang yang signifikan. 

Bermacam bentuk rangka berfungsi sebagai substrat untuk menempelkan fragmen karang. Bentuk-bentuk yang unik berhasil menarik wisatawan domestik maupun mancanegara untuk melakukan snorkeling atau penyelaman. 








“Wisatawan yang hadir terkesan dengan metode yang digunakan untuk kegiatan rehabilitasi. Yang juga menarik perhatian adalah bentuk-bentuk substrat yang unik. Kebanyakan substrat yang ditenggelamkan biasanya berbentuk bongkahan yang sudah umum, tapi dengan bentuk-bentuk unik seperti yang ada di sini pesan konservasi dapat tersampaikan dengan cara yang lebih mudah ke wisatawan karena mereka sudah tertarik lebih dulu terhadap objek yang ada,” kata pengawas pantai. 









Keberhasilan pengembangan metode transplantasi yang menarik banyak wisatawan untuk berkunjung tak lepas dari dukungan Desa Pakraman Pemuteran. Penelitian yang dilakukan oleh Atmadja dkk* menyebutkan bahwa Desa Pakraman Pemuteran mendukung gagasan ini dengan alasan, yakni: pertama, basis ekonomi para nelayan akan terpulihkan. Kedua, jika kegiatan bisnis pariwisata berkembang maka terjadi tetesan dolar kepada krama desa lewat penyerapan tenaga kerja lokal. Ketiga, bisnis pariwisata memberikan peluang bagi pemasaran produk lokal sebagai penunjang bisnis pariwisata. Keempat, bisnis pariwisata memunculkan diversifikasi nafkah, yakni nelayan, petani, dan karyawan perusahan pariwisata sehingga peluang untuk meningkatkan pendapatan keluarga bertambah besar. Kelima, desa pakraman mendapatkan masukan finansial dari dana filantropi dan atau tanggung jawab sosial perusahaan pariwisata. Masukan finansial ini bisa memperkuat basis ekonomi desa pakraman guna mewujudkan aneka program yang terkait dengan pengaktualisasian ideologi THK.

Oiya, tentang baywatch lokal. 

Pengawasan pantai di pesisir ini dilakukan oleh masyarakat. Pemuteran, yang notabene terletak di Bali dengan hukum adat yang mengikat kuat, merupakan tempat pertama kali terbentuk pecalang segara. Pecalang sendiri merupakan pelaksanakan sistem keamanan tradisional yang dilakukan oleh orang lokal. Sistem yang berkembang baik ini menjadi percontohan bagi pengamanan wilayah pesisir di tempat-tempat lain, di Bondalem, Tejakula, Penuktukan, dan bahkan menurut informasi dari salah satu pecalang segara, sistem tersebut diadaptasi juga di wilayah pesisir di Kalimantan.

Pecalang segara ini bekerja pada satu kelompok yang dinamakan Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokmaswas). Pokmaswas didirikan pada masing-masing desa yang memiliki wilayah pesisir dan masyarakat memiliki inisiatif untuk kegiatan pengamanan pesisirnya. Tujuan utamanya ialah mengawasi kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di wilayah pesisir. Selain itu, Pokmaswas juga bertugas memberikan peringatan pada orang-orang yang melakukan pelanggaran, sedangkan tindak lanjut terhadap pelanggar adalah di luar tugas pokmaswas, melainkan diserahkan pada pihak yang berwajib misalnya pada aparat pemerintah tapi bisa juga diserahkan pada desa adat apabila pelanggaran dilakukan terkait dengan awig-awig. 

“Semboyan kerja kami adalah 3S, salam, senyum, sapa. Udah bukan jamannya lagi pengawas pantai mengingatkan orang yang melanggar dengan meneriaki dari jauh, berkacamata hitam muka sangar. Kebanyakan kalo begitu yang diingatkan malah semakin berontak, makin ngeyel. Coba kalau misalnya didatangi, kita sapa lalu diberi senyum manis sambil bilang baik-baik kalo melakukan kesalahan. Orang akan segan dan malu sendiri. Ini dari pengalaman yang sudah-sudah hehe,” kata Bli Gunaksa, wakil ketua Pokmaswas Pemuteran. 

Bener juga ya hehe. 

Kalo tujuannya baik lalu disampaikan dengan cara yang baik InsyaAllah hasilnya juga baik. Dan, agaknya memang hanya yang dari hati yang akan sampai ke hati. 

Baiklah. Siapa tahu teman-teman berkesempatan berkunjung ke Pemuteran, ini dia Bli Gunaksa, dengan seragam pokmaswasnya setelah menyampaikan semboyan 3 S. Berfoto tidak lupa menyunggingkan senyum ramah pecalang segara :)

Bli Gunaksa dengan senyum ramah pecalang segara :)

--- 

*Atmadja, A. Tungga dkk. (2013). Pecalang Segara: Satuan Tugas Keamanan Tradisional Penjaga Kelestarian Lingkungan Pantai dan Laut: Studi Kasus di Desa Pakraman Pemuteran, Grokgak, Buleleng, Bali. Jurnal Bumi Lestari, Volume 13 No. 1, Februari 2013, hlm. 174-184s

*Foto UW oleh Citra Indah Lestari