Rabu, 10 April 2013

Makdah.



Hanya saja, rasanya hangat.

Hangat. Yang saya rasakan ketika berada di tengah keluarga Bu Mahmudah. Keluarga terdekat ketika saya diberi kesempatan untuk tinggal di Toyapakeh, Nusa Penida selama 3,5 bulan terkait pengerjaan penelitian tugas akhir.

10 Juni 2012, adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Pulau Nusa Penida. Waktu itu Mbak Pariama, seorang kawan dekat, meminta saya menemani beliau untuk menghadiri pernikahan temannya di Toyapakeh, salah satu perkampungan muslim di Pulau Nusa Penida. Tanpa babibu saya mengiyakan. Berdandan rapi jali lalu segera kami menuju Sanur untuk menyeberang ke Penida dengan boat.
Adalah kali pertama juga di waktu tersebut saya kondangan nyebrang pulau. Naik ke boat dengan melepas sepatu cantik khusus kondangan (yang tidak biasa dilakukan saat kondangan sebelum sebelumnya), ditambah celana panjang yang dipakai basah terendam air laut. Ya sudahlah, memang kawasan pesisir ini hehe.

Maka di sinilah segala ini berawal. Berkenalan dengan putri dari bu Mahmudah, bertukar nomor hp. Dan selanjutnya, 15 Oktober tahun lalu saya kembali ke Toyapakeh untuk memulai penelitian tugas akhir.

Tiga setengah bulan lamanya saya tinggal di rumah Makdah (begitu saya memanggil Bu Mahmudah). Awalnya saya ingin ngekos, tapi Makdah dengan sedikit memaksa mengajak saya untuk tinggal di rumahnya. Beliau menyampaikan bahwa ada kamar kosong, kamar Mbok Elok anak perempuannya yang sudah menikah lalu ikut suaminya, sayang kalau tidak dipakai katanya. Menimbang-nimbang satu dan lain hal, dan segera saya menjadi bagian dari keluarga beliau.

Tinggal di rumah Makdah, saya dilarang keras mengeluarkan sepeser uang pun untuk membayar listrik, air, atau apapun yang saya gunakan di rumah itu. Tidak pernah dibebankan kepada saya untuk melakukan hal ini hal itu. Pintu rumahnya pun selalu terbuka kapan saja, mengingat saya sering pulang diatas jam 12 malam saat ambil data penelitian. Suatu kali, pernah saya meninggalkan kamar dengan butir-butir pasir di lantai karena tidak sempat membersihkannya. Ketika kembali ke kamar sepulang dari laut lantai kamar sudah bersih, tak tampak lagi butiran pasir. Makdah bilang yang membersihkan itu hantu yang suka nemenin Makdah. Ah, beliau ini :’)

Izah (kiri), Makdah (tengah), Nadia (kanan). Satu sore saat kami duduk-duduk di dermaga

Satu dari banyak hal yang membuat saya trenyuh akan ketulusan hati wanita paruh baya ini.
Saya tidak suka gelap, sedang Toyapakeh sering sekali terjadi mati listrik. Entah sesaat setelah angin kencang, mendapat giliran pemadaman listrik, maupun saat hujan deras, Toyapakeh sering sekali mengalami mati listrik. Makdah selalu menyiapkan lampu teplok sesaat menjelang magrib, untuk berjaga-jaga bila mati lampu. Dan seperti inilah yang selalu terjadi bila listrik mati.
Bila listrik mati saya segera terjaga, tangan meraih hp atau senter yang sudah disiapkan di dekat bantal. Sebentar saja, tampak wajah Makdah menengok ke kamar dengan tangan menenteng teplok. Makdah lalu mengajak saya menggelar kasur di ruang depan. Sesudahnya saya tidur di samping Makdah hingga terbangun esoknya. Entah sejak kapan dan dari kejadian mana, Makdah tahu begitu saja saya tidak bisa tidur sendiri kalau lampu mati.

31 Desember 2012 (hari lahir Yahmi, suami Makdah) saatnya  kumpul keluarga

Ada satu kali saat saya sedang memijit leher Makdah (bagian kanan lehernya terasa sedikit pegal kata beliau), kami ngobrol. Ngobrol seperti ini yang bahkan dengan ibu saya sendiri belum pernah. Makdah tanya apakah saya sudah punya pacar apa belum, saya jawab belum sambil mesam mesem. Makdah ngga percaya jadi beliau tanya lagi sambil melihat ke saya, ya sekali lagi saya jawab belum karena memang belum punya pacar. Makdah tanya kenapa saya ngga cari pacar, saya jawab karena saya rasa belum saatnya punya pacar, karena kalau pacaran saya ngga bisa bebas main dengan siapa saja. Saya jelaskan juga bahwa saya malah pengennya langsung nikah, biar afdol sekalian hehe. Makdah mengangguk-angguk, lalu menyampaikan beberapa baris kalimat,

“ Ya pokoknya Makdah doakan, semoga Reni dapat suami yang bisa menyelaraskan, bisa serasi, dan menyeimbangkan Reni. Cari suami yang pinter. Jangan cuma pinter urusan dunia, tapi akhirat juga toh ini dunia ini kan sementara. Carinya yang sesuai juga dengan apa-apa yang diimpikan sama Reni. Cari suami pinter  yang sesuai dengan kita itu memang sulit, tapi ada.”

Dalam hati, saya mengamini. Ya Makdah, InsyaAllah ada :)

Satu dua kejadian membuat saya berpikir benar-benar telah menjadi bagian dari keluarga ini.

Rumah Makdah terletak hanya dua pelemparan batu dari Masjid, satu satunya Masjid yang ada di Nusa Penida. Di sebelah Masjid, tepat di depan rumah, Makdah punya warung kecil yang menjual snack, permen, dan minuman ringan. Biasanya pada pukul setengah 6 sore atau sejenak sebelum adzan isya berkumandang, warung milik Makdah dipenuhi anak-anak yang baru selesai mengaji. Di waktu-waktu tersebut dari depan rumah kerap terdengar anak-anak berteriak ,”Mbok Elooook, mau belanjaaaaaa.” Lalu saya menjawab,” Iya sebentar yaaaa.” Segera mengenakan jilbab lalu saya keluar rumah. Satu dua anak yang menatap saya terlebih dahulu lalu menanyakan dimana Mbok Elok, ada juga yang masa bodoh siapa yang menjuali yang penting mereka bisa jajan.

Atau suatu pagi, saat saya ikut Makdah ke pasar. Saya berjalan di samping Makdah, memaksa membawakan tas belanjaan beliau. Melihat cara Makdah memilih ikan segar, menawar harga. Ikut berkenalan dengan ibu-ibu, bapak-bapak di pasar (Mamaknya Lisa yang berjualan bumbu masak, atau Bapaknya Rika yang berjualan minyak kelapa khas Penida, Mamaknya Mas Alung yang berjualan sayur, ada juga Pak Haji Syafrudin yang punya toko bahan pokok, ibu ini bapak itu mas ini mbak itu). Tak jarang orang mengira saya ini calon mantunya Makdah, yang selalu dijawab dengan senyuman seraya berkata,” Ini saudara jauh.” Atau orang bilang saya penggantinya Mbok Elok.

Ya, saya pikir saya jadi pengganti Mbok Elok di rumah itu. Untuk sementara.

Makdah, Yahmi, saya, dan Ica. awalnya mau makan di tepi pantai tapi hujan jadi kami mengungsi di beranda rumah hehe

Begitulah, begitulah.
Tiga setengah bulan di rumah Makdah, belajar banyak hal. Wanita yang benar tangguh. Bagaimana tidak? Selain berperan sebagai Kepala Urusan Kesejahteran Masyarakat di Kantor Desa Toyapakeh dengan jam kerja mulai pukul 08.00 – 14.00, beliau ini melaksanakan sendiri pekerjaan rumah tangga seperti mencuci baju, menyetrika, membersihkan rumah, dan memasak setiap hari. Belum lagi, beberapa  setiap 3 hari sekali ba’da magrib hingga menjelang isya, Makdah mengajar Madrasah di Masjid.

Pernah saya tanya,” Makdah, kok Makdah masih bersedia bantu Pak Kepala Masjid ngajar di Madrasah? Kan Makdah udah sibuk sekali saya lihat suka bawa catetan-catetan dari kantor desa ke rumah.”

Lalu jawab beliau,” Makdah suka ngajar Ren, dulu Makdah sebelum jadi Kaur jadi guru. Itu di sekolah sebelah lapangan. Selama Makdah masih bisa ngerjain apa yang bisa tak kerjain, Makdah usahakan, apalagi Pak Kepala Masjid kawan baik Makdah dari SMA. Lagipula ngga enak rasanya kalo orang minta tolong, terus kita masih bisa nolong tapi ngga dilakukan. ”
Lagipula ngga enak rasanya kalo orang minta tolong, terus kita masih bisa nolong tapi ngga dilakukan.
Kalimat itu.
Selagi bisa menolong, kenapa tidak? Tulus menolong tanpa mengharap imbalan. Bukan sekedar kalimat yang tertera di buku PPKN yang kita pelajari pas SD maupun SMP, saya lihat nyata dari Makdah. Kalau mau saya sebutkan satu persatu, butuh berapa page untuk menuliskan secara detail ya? Hehehe

Makdah, Makdah.
Mungkin Makdah ngga baca tulisan ini. Tapi sungguh saya berterimakasih atas semuanya. Makdah, Yahmi, Nenek, Fajar, Mbok Elok, Mas Bukran, dan Mas Danik sudah menjadi jalan rezeki dari Allah. Sudah pasti diatur oleh Allah kenapa saya harus ketemu sama Mbok Elok saat itu, sehingga saya tinggal 3,5 bulan di rumah Makdah kemudian menunggu si karang-karang bertelur yang bahkan saya tidak tahu probabilitas keberhasilannya. Dan atas izin Allah, penelitian tugas akhir saya lancar.

Tidak bisa saya membalas seluruh kebaikan Makdah dan keluarga. Maka saya berdoa ke Allah, berdoa memohon keselamatan dunia akhirat untuk Makdah dan keluarga. Agar segala urusan-urusan dilancarkan oleh Yang Maha Berkehendak.

Ini saya tulis setelah mendapat sms dari Makdah yang berisikan ucapan selamat wisuda. Ah, ingin rasanya saya segera kembali mengunjungi Toyapakeh. Baiklah, sampai bertemu lagi segera ya, Makdah!:D



Makdah, saya, Mas Danik, Yahmi, Nadia, dan Izah.

Nb: 4 hari lalu di kosan mati lampu Makdah, listriknya konslet. Tapi ngga ada yang membawakan teplok dan mengajak saya menggelar kasur di ruang depan. Jadilah saya ngungsi ke kosan teman hehehe

Pagi kita

Halo Ica, ingat tidak saat satu pagi di januari lalu kita di dermaga Buyuk menunggu matahari terbit. Waktu itu ada Izah juga, anak cerdas kelas 2 SD yang katanya besok gede mau jadi pramugari atau kalo enggak mau jadi dokter.

Pagi. Kalau kata Bang Tere, pagi itu ketika janji-janji baru muncul seiring embun menggelayut di ujung dedaunan. Ketika harapan-harapan baru merekah bersama kabut yang mengambang di persawahan hingga jauh di kaki pegunungan.

Dari setiap pagi yang memang selalu berbaik hati menyambut, maka ini dia Ca, salah satu pagi terbaik kita :)

Semangat mengerjakan tesis Ica !!
Waktu itu kita bisa bareng di sana, sekarang Ica mungkin lagi ngetik tesis di kosan, aku di sini ngetik buat Ica sama ngetik apalah ini hehe.

Ah, tapi ini hanya siklus sementara bukan;) Lagipula kita memang tidak pernah sendiri dalam mengerjakan urusan apapun, dimanapun. Seperti pesanmu sore tadi.

Wahuwa ma'akum ainama kuntum.


Ijul dan Bik Surti.


Sore itu, setelah perayaan Maulud Nabi kami berjalan ke dermaga. Menikmati hangatnya hembusan angin laut sambil jeprat jepret pose sana sini. Samar samar saya dengar ada yang berseru,

” Heeeee, Reeen aku melu difotoo kenee!”

Saya menoleh. Mengalihkan pandangan dari objek, mencari sumber suara. Ternyata itu Bik Surti. Bik Surti yang mengayuh pedal sepeda kepayahan agar segera sampai di ujung dermaga, tidak mau ketinggalan sesi foto-foto tampaknya. Ada yang melongok-longok dari balik badan Bik Surti, ah, itu dia Ijul. Terlihat Ijul melingkarkan lengan mungilnya erat-erat di perut mamaknya, menahan agar tidak oleng lalu jatuh terhempas ke aspal keras yang melapisi dermaga. 

Wanita berbaju kuning ini Bik Surti, orang jawa yang tinggal di Nusa Penida. Sedang anak kecil yang jatuh terjengkang adalah Ijul, anak semata wayang Bik Surti. Di kanan itu Mas Danik, putra pertama Makdah. Itu di sisi kiri adalah Ustica, kawan baik saya yang berkunjung ke Toyapakeh, tertawa kecil sambil mungkin  iba, atau  malah sedikit kesal ya pada Ijul hehe. 

Ica, Bik Surti, Ijul, dan Mas Danik

Sore itu kami buatkan Izah burung kertas. Burung kertas warna hijau yang dikaitkan ke lidi menggunakan seutas benang. Senang wajah Izah menerima burung kertas itu. Sesampai di dermaga, dibantu angin Izah menerbang-nerbangkan mainan itu. Baru berapa kali ayunan, tapi tiba-tiba, hap! Burung kertas ditangkap Ijul. Diremasnya kertas warna hijau mainan baru Izah. Meledaklah tangis Izah. Ijul mau dijewer tapi dia mengelak, jatuh terjengkang. Terjadilah sesi tarik menarik Ijul dan Bik Surti. Eh si Ijul malah kesenangan ditarik-tarik, lihat saja itu senyum yang tampak di wajahnya -.-

Ijul glesoran di aspal dermaga, merajuk

 Bik Surti dan Ijul, dari mereka saya banyak belajar bersyukur. Bersyukur atas apa yang ada pada saya sekarang. Pagi-pagi benar, sesaat setelah subuh dari luar jendela rumah Makdah kerap saya dengar Bik Surti berbicara dengan Ijul seraya berjalan cepat menuju pantai. Pagi-pagi seperti itu Bik Surti biasa ngobes, pekerjaan mengangkat barang-barang dari perahu ke pasar maupun sebaliknya, kemudian dibayar tak seberapa oleh si empunya barang, biasanya Rp 1.000,00 untuk sekali angkut. Demi sesuap nasi. Sementara itu Ijul, selalu setia menguntit di belakang sambil gondelan baju mamaknya.

Sudah beberapa tahun yang lalu Bik Surti ditinggal oleh suaminya, maka ia membesarkan Ijul seorang diri. Ijul, anak hiperaktif yang tak jarang membuat para guru dan teman sebaya kewalahan menghadapi sikap-sikapnya. Atas beberapa pertimbangan, Bik Surti akhirnya memutuskan untuk menarik Ijul dari sekolah, memilih untuk membawanya kemana dia pergi, termasuk saat ngobes. Pernah saya lihat Ijul ikut menunggui mamaknya membantu menyetrika baju di rumah orang. Begitulah, dimana ada Bik Surti selalu ada Ijul.
Pagi atau siang hari saat saya ngecek karang dan kebetulan bertemu Bik Surti, beliau selalu menyapa dengan logat jawa timurnya yang khas,

“ Kerep banget ndelok kerang, gak bosen-bosen a. Gak wedi a enek iwak gedhi-gedhi nduk?”
“ Nggih pripun malih Bik, Bismillah mawon. Nggo Bik, purun mboten tumut renang sareng kula? hehehe,” sahut saya.
“ Ah wegah, gak wani aku,” jawab Bik Surti.

Bertemu di tepi pantai, di gang-gang, Bik Surti selalu menyapa. Tak lupa diikuti longokan kepala Ijul dari balik badan mamaknya, yang lalu menjulurkan lidahnya pada saya. Saya balas dengan kedipan mata, atau balik menjulurkan lidah padanya. Kadang saya suka tersenyum sendiri kalau melihat atau mendengar Bik Surti serta Ijul melintas di depan rumah Makdah. Percakapan entah apapun itu, sekilas terdengar seperti ibu yang sedang memarahi anaknya, tapi dari kalimat tersebut bisa saya rasakan sarat oleh kasih sayang. 

Ah, Ijul, Bik Surti.
Bibik dan Ijul menambah perbendaharaan saya mengenai kisah antara ibu dan anak. Ibu, bagaimanapun kapanpun selalu mengusahakan yang terbaik bagi anaknya. Semoga Bik Surti dan Ijul sehat-sehat selalu :)
.....
Saya jadi ingat, kali pertama saya bertemu Bik Surti dan Ijul. Waktu itu saya baru selesai shalat dhuhur. Saya baru saja mau mengenakan sandal, Bik Surti memanggil dari pagar Masjid. 

“ E mbak, mahasiswa seko jowo yo?,” mengingat bahwa warga Toyapakeh mengenal satu sama lain dengan baik, jadi wajah baru saya ini mungkin dengan mudahnya dikenali ya Bik hehe (E mbak, mahasiswa dari jawa ya?)
“ Nggih Bu, dos pundi?” saya menjawab, sedikit kaget. (Iya bu, bagaimana?)
“ Ayo mampir a neng omahku, maem a ning omah,” ajak Bik Surti (Ayo mampir ke rumahku, makan di rumah)
“ ... Sekedap nggih Bu, dereng budhal wau saking pantai,” bingung menjawab ajakan Bibik
“ Nengdi tinggal e?”tanya Bik Surti. (Dimana tinggal?)
“ Wonten dalemipun Makdah Bu, Pak Helmi,” jawab saya. (Di rumah Makdah Bu, Pak Helmi)
“ O, ning Bu Mudah yo. Yowes, engko dolan a ning omah yo,” kata Bik Surti. (O, di Bu Mudah ya. Yasudah, nanti main ya ke rumah)

Belum saya jawab Bibik sudah pergi. Ijul sudah narik-narik baju Bik Surti ingin segera pulang ke rumah. Terus mata saya sudah mbrambang pingin nangis, trenyuh. Baru dua hari menginjakkan kaki di Toyapakeh, sudah ada yang seramah ini yang bahkan baru bertemu mempersilakan saya makan di rumahnya.
Rabb, sungguh Kau telah bermurah hati. Telah Kau atur, saya memang benar-benar tak pernah sendiri.

Ijul yang masih merajuk

Itu dia Bik Surti, salah satu dari sekian wajah ramah  penduduk Toyapakeh. Dan Ijul, anaknya yang suka menjulurkan lidah pada saya kalau pas ketemu hehe :)

Kemari sebentar kawan.


Kutepuk bahumu. Kau menoleh.

Kemari mendekat kawan, kubisiki.
Eh, kau ingat tidak tampang culun kita saat diospek kakak-kakak tingkat?
Mau maunya saat itu kita disuruh pakai atribut ospek aneh-aneh, diminta ngerjain macem-macem pulak
Memakai name tag kambing, cari tanda tangan seangkatan plus kakak-kakak panitia, bikin jargon kelompok, ngerjain ini-itu. Baris sesuai kontur, bah!
Macam kita ini mainan saja. Konyol.
                (Kau tersenyum mengiyakan)
Ingat juga saat berlelah-lelah kulap?
Berebut kamar mandi lalu timbul cek-cok kecil dengan kawan lain
Rebutan naik ke truk. Berebut pula tempat untuk menggelar sleeping bag.
Heatshock menyerang lalu cek-cok kecil lagi dengan kawan
                (Kau menyeringai, mengangguk menyetujui kalimatku)
Masa-masa kuliah di kelas sambil ngantuk-ngantuk, tak jarang kena tegur dosen.
Disuruh keluar buat cuci muka. Malu gilak.
Lalu juga yang ini, pembagian bab buat belajar biselmol, perwan, anfiswan, dan apalah itu mata kuliah lain
Niat belajar bareng yang berakhir dengan ketiduran bareng. Gagal belajar.
Bangun pagi langsung ke kampus. Tak sempat mandi. Ya, tidak pakai mandi.
Bikin laporan sambil merem melek
                (Kau terkekeh pelan)
Kejadian ini itu. Tidak sedikit bukan.
Ingatan ini, layaknya potret-potret yang disetel diputar ke kepalaku
Tahu tidak?
Satu hal yang aku rasai dari kejadian-kejadian tersebut


Untung saja kawan, untung saja.
Untung saja saat itu kita mau di-konyol-i. Untung ada cek-cok yang segera reda setelahnya. Untung saja ketiduran di kelas ketahuan dosen. Untung kita pernah tidak mandi ke kampus.
Sekali lagi, untung saja kawan
Semua itu berjalan dengan tidak biasa-biasa saja.
 Jadi bisa aku ingat-ingat sambil senyam senyum sendiri.

Sekarang ini, lihat.
Gagah, anggun.
Berderet rapi jali, berdiri kita di sabuga.
Dipimpin Pak Rektor mengucap sumpah sarjana.
Anak-anak gajah sebentar lagi dilepaskan dari induknya.

Ssttt,
Ini hanya siklus sementara kan kawan?
Bertemu, berkenalan, berkawan, berpisah, hingga satu saat kita bertemu lagi.
Bertemu lagi dimana? Ya bisa dimana saja. Mungkin satu saat aku bisa mengunjungimu saat S2 atau S3 di negeri sebrang, atau bisa saja aku mengawanimu survey ke pelosok negri untuk bahan penelitianmu. Atau aku bisa menemanimu sekedar berjalan ke BATAN untuk mengambil satu termos nitrogen cair hehe.
Atau hmm paling pasti kita juga dapat langsung bertemu di halte pemberhentian terakhir, yang mereka sebut kampung akhirat. Dimana segala yang bersifat sementara ini sirna lalu kita segera masuk ke kehidupan abadi.

Kawan, terimakasih untuk semuanya.
Untuk setiap pengalaman dan pelajaran.
Untuk setiap kebersamaan.
Tidak. Aku tak hendak ucapkan salam berpisah, toh kita kan bertemu lagi bukan?;)

Sebelum sebentar lagi kita ikuti Pak Rektor mengucap sumpah sarjana, satu lagi ingin aku sampaikan. Quote favoritku dari Bang Tere,
“ Tak ada yang hilang dari hati, tidak ada yang pergi dari sebuah kenangan.”
Baiklah, sampai berjumpa lagi :)

Ume, Dian, Falma, dan saya dengan pendamping wisuda paling yahud sepanjang masa :)

SITH angkatan 2008
Sekali lagi,
“ Tak ada yang hilang dari hati, tidak ada yang pergi dari sebuah kenangan.” (Tere Liye)

Kamis, 04 April 2013

Rupa mentari



Bertiga kami pagi itu; saya, Icha, dan Iza kawan cilik kelas 2 SD, menyusur pantai menuju dermaga, tempat pilihan kami menunggu  kemunculan mentari. Desau angin laut dan suara memecah dari ombak air pasang yang bergulung ramah ikut meramaikan tepian pantai yang telah dipenuhi hiruk pikuk aktivitas warga. Toyapakeh selalu sudah ramai sepagi ini. Orang-orang yang menjemput riski di pagi hari.

Ya, Toyapakeh. Menurut saya, desa ini merupakan salah satu tempat yang dengan sukses dapat menghidupkan romantisme sunrise dan sunset. Dari desa ini matahari terbit dari balik rimbun nyiur, tenggelam di barat pulau Nusa Lembongan. Tampak sederhana ya? 














Namun bagi saya wajah matahari di ufuk, tak pernah sederhana :')