Senin, 14 Oktober 2013

Pada sahabat.

Saya hendak meminta maaf karena ketika akan menelfon tengah malam sebelum pergantian hari saya jatuh tertidur. Tertidur hingga keesokan hari dengan masih menggenggam handphone di tangan.
---

Hari Minggu saya dan Febri berencana mengunjungi beberapa tempat di pulau tenggara Bali ini. Untuk itu pagi ini saya menemani Febri ke tempat penyewaan motor. Tempat penyewaan motor ada di Rumah Datuk Iti, nenek dari Izah.

Kamu masih ingat Izah Din? Anak kecil yang aku ceritakan dulu.

“Assalammualaykum,” kata saya sambil mendorong pintu belakang.
“Waalaykumsalam,” jawab orang di rumah.

Saya lihat ada Izah sedang menurunkan standar sepedanya.

“Mbak Reni mau kemana, katanya mau sewa motor ya?” tanya Izah
“Mau ke Atuh Zah, ada temen Mbak Reni ikut main ke sini terus katanya mau jalan-jalan ke sana. Jadi aku mau minjem motor bapaknya Izah buat main kesana ya,” kata saya.
“Tapi bapak lagi keluar Mbak Ren, aku bilang ke mamak aja ya,” kata Izah.

Lalu dia lari ke dalam rumah memanggilkan mamaknya. Sebentar kemudian ibu Izah ke luar, saya bilang mau menyewa motor dua hari untuk ke beberapa tempat. Beliau mengiyakan kemudian masuk ke dalam rumah mencarikan kunci motor.

“Zah, Izah inget ngga sama Kak Dian?” tanya saya
“Kak Dian yang fotonya ada di hp nya Mbak Reni itu?” kata Izah menatap saya dengan matanya yang cemerlang.

Dia mengingatmu, Din.
Kalian belum bertemu tapi dia mengenalmu dari cerita-ceritaku.

“Zah, Kak Dian hari ini ulang tahun lho, doakan Kak Dian ya Zah,” kata saya.
“Ulang tahun yang ke berapa Kak Dian nya sekarang Mbak Ren? Nanti dah tak doain Kak Diannya. Eh kalo ngucapin sekarang telfon Kak Dian boleh nggak?” tanya Izah.

Dia bilang dia ingin ngucapin selamat ulang tahun padamu Din.

“Hmm. Kalau Izah ngucapinnya ditulis mau ngga? Biar awet Zah. Kalau langsung bilang nanti Kak Diannya denger sekali aja jadinya ngga awet deh hehe, ” kata saya.
“Boleh Mbak Ren, ngga papa. Sekalian mau ngajak Kak Diannya ke sini ya Mbak. Dimana nulisnya?” tanya Izah sambil senyum, senyum manis.

Lalu saya keluarkan buku catatan, memberikannya pada Izah beserta satu pulpen. Kemudian aku menemui ibunya di dalam rumah, berbicara sebentar tentang waktu pengembalian sepeda motor. Kira-kira sepuluh menit kemudain Izah menghampiri saya, mengembalikan buku catatan.

“Ini Mbak Ren, udah buat Kak Dian. Ntar ajak Kak Dian main ke sini ya Mbak Ren,” kata Izah kemudian mengambil sepedanya, mengayuh pedal sepeda keluar dari pekarangan rumah.

Dia menuliskan ini untukmu.



Jelas terbaca tidak Din?
Aku ketik lagi kalimat yang ditulis Izah ya :)
---

Toyapakeh, 13 Oktober 2013
Halo Kak Dian selamat ulang tahun semoga panjang umur sehat sentosa, semoga lulus. Kak Dian kapan main ke nusa penida nanti main ke penide puncak mundi, mandi laut, jalan-jalan ke nusa penida keliling nusa penida, ke peguyangan, nyabut asamku, terus nyari manggaku, melihat santrais, sunset, melihat matahari yang terbit di pagi hari dan siang hari terus Kak Dian ajari aku belajar okeeee!
-Nur Azizah
---

Kalian belum bertemu, belum pernah bertatap muka satu sama lain bukan?
Tapi Izah mengenalmu.

Panjang umur sehat sentosa, doa Izah. Katanya semoga Kak Dian lulus. Dia tahu kamu sedang menempuh pendidikan S2. Diajaknya kamu mandi laut. Mandi laut itu berenang Din, jadi sebelum menginjakkan kakimu ke pulau ini kamu harus bisa berenang ya. Pun belum bisa nanti aku pinjamkan jaket pelampung. Di rumah Izah ada satu pohon asam yang tinggi dan sedang lebat berbuah Din, makanya diajak nyabut asam. Dan ajakan-ajakan lain yang sudah ditulis Izah di atas ya.

Itu Din, aku ingin sampaikan dari satu teman kecil kita. Kalau nanti kamu ada kesempatan ke sini, aku kenalkan ke Izah juga teman-teman lain :)

Lalu dariku?
Hmm. Dariku begini Din.

Jadi tadi aku ke satu pantai, namanya Pantai Atuh. Sesampainya di pantai itu, aku mendapatinya sebagai pantai yang begitu tenang, sepi. Hanya ada 4 orang di situ yakni aku, Febri, dan dua kawan yang berasal dari desa tempat aku menginap yang mengantarkan kami ke sini. Oya, setelah itu ada dua orang lagi dari suatu yayasan datang.

Jadi minggu siang ini di Pantai Atuh hanya ada kami berenam. Tenang sekali rasanya, Din.

Semoga doa-doa ini didengar alam.
Tidak perlu aku jabarkan ya Din.
Biarkan bisikannya hinggap pada butir-butir pasir di tepian
Terbang oleh angin lalu disampaikan-Nya padamu

Oya, bukan berarti aku tidak ingin mengucapkan secara lisan. Jadi jangan lupa ya nanti mengecek video singkat yang aku tautkan padamu ;)

Terakhir Din,
Someone wrote, Allah knows who belongs in our life and who does not. Trust and let go. Whoever is meant to be there, will still be there.

Aku hanya kangen mengerjaimu bersama teman-teman lain, seperti yang dilakukan 4 kali berturut-turut dalam tahun-tahun terakhir kemarin. Dian, terimakasih sudah menjadi teman yang teramat baik dari sejak pertama kita bertemu :”)





Senin, 07 Oktober 2013

Rumah dan sepi.

Di mana rumahmu?” tanya anak itu pada saya saat kami tergesa menyusur setapak.

Rumah? Di sini salah satu rumahku,” sahut saya.

Oh, berarti ada yang lain ya. Dimana?” tanyanya lagi.

“Keluargaku juga rumahku,” kata saya.

Ada lagi selain itu?”

--- 



Rumah.



Rumah bagi saya adalah orang-orang atau tempat-tempat yang saya ingin kembali lagi dan lagi. Dimana saya berucap syukur -untuk kesekian kalinya atas izin Sang Pemilik- ketika dapat dipertemukan kembali dengan orang-orang atau dapat menapakkan kaki lagi di tempat tersebut. Kenyaman dan ketenangan adalah dua kondisi perasaan yang saya temukan ketika berada di rumah. Dua rasa, nyaman dan tenang, mungkin inilah sebabnya kata rumah berkerabat dekat dengan kata cinta. Sedang mencintai menurut hemat saya adalah menumbuhkan, menjaga, kemudian mengajak orang-orang yang kita sayangi untuk berusaha bersama menetapi apa yang terbaik menurut-Nya. Betul, yang terbaik menurut-Nya, bukan lagi yang terbaik menurut saya.



Dari masih pendeknya perjalanan yang saya tempuh di bumi, ini dia rumah saya;

Bapak, ibu, dan Ratri.

Jangan salahkan aku Rat, kalau membuatmu kesal dengan menggelitiki telapak kakimu, usil menyeret selimutmu saat adzan subuh telah berkumandang tapi kau masih menggeliat di kasurmu. Itu aku lakukan karena aku mencintaimu. Toh kau juga sangat menyebalkan pernah mengganggu tidur siangku. Tapi terimakasih, kau begitu karena tak mau aku melewatkan dhuhurku bukan?;) 

Kemudian Pakeh, satu desa yang saya pernah sebentar tinggal disana setahun lalu. Dengan dua orang terdekat yang sudah seperti ibu dan kakak saya sendiri, yakni Makdah dan Mbok Tik, begitu saya biasa memanggil beliau berdua. Sampai bertemu akhir minggu ini ya Makdah, Mbok Tik, InsyaAllah.

Itu dua rumah utama saya. Sedang mencoba berjalan lebih jauh, siapa tahu saya dapat menemukan rumah lain lagi di depan sana :)

Masih tentang rumah.

Satu lagi. Rumah yang saya belum pernah menapakkan kaki di sana. Rumah dimana saya berharap disana akan dikumpulkan bersama orang-orang yang saya sayangi. Rumah yang baru hanya bisa saya bayangkan dari apa yang tertulis di buku-buku, penggambarannya tergores pada kitab.

Dikatakan bahwa di rumah ini mengalir di bawahnya sungai-sungai. Penghuni rumah ini memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal duduk-duduk bersandar di atas dipan-dipan yang indah. 

Dikatakan juga bahwa rumah ini bertempat di atas langit ke tujuh, dekat Sidratul Muntaha.

‘Rumah’ tempat kembali dengan tiada pembanding, yang membuat Asiyah bertahan atas kezaliman Firaun. 

Adalah satu siang dengan sinar mentari yang menyengat ketika Asiyah diikat sebanyak 4 ikatan pada kedua tangan dan kakinya pada tiang-tiang yang dipatok ke tanah. Suaminya berlaku seperti itu berharap agar keimanan sang istri kembali padanya. Apa yang terjadi? Asiyah memegang teguh keyakinan pada Allah. Dalam penyiksaan oleh Fira’aun, Asiyah berdoa agar dibuatkan rumah di sisi-Nya, dan diselamatkan dari kekejaman Fir’aun dan dari kaum yang zalim. Allah dengan kekuasaan-Nya memperlihatkan tempat tinggal wanita ini di surga. Bertahanlah Asiyah. Ketika algojo suruhan Fir’aun kembali menanyakan bagaimana keimanannya, Asiyah menjawab tetap pada pendiriannya. Kemudian sesuai perintah Fir’aun, bila Asiyah tidak juga mengubah iman menjadi padanya maka algojo diperintahkan untuk memukulkan batu ke kepala wanita ini. Selesai dia menjawab, algojo mengangkat batu bersiap-siap memukulkannya ke kepala Asiyah. Namun pertolongan Allah mendahului siksaan algojo. Allah memerintahkan malaikat Izrail mencabut nyawa Asiyah, sesaat sebelum batu besar dipukulkan ke kepalanya. 

Asiyah, salah satu dari empat wanita utama penghuni surga. Wanita ini mendapatkan tempat di sisi Allah, di ‘rumah’ tempat segala amal baik dibalas. Rumah dengan pesona yang dahsyat;)

Ehm, sesungguhnya kita semua dalam perjalanan pulang ke ‘rumah’ bukan?

Pada beberapa kesempatan dalam perjalanan pulang ini kita bertemu orang-orang, kemudian bersama berjalan. Jalanan ini sungguhlah luas sehingga satu dua urusan membuat orang berjalan berdua-dua, berkelompok, pun ada yang sendiri memisahkan diri, memilih jalan lain memutar, mengambil jalan ke sebelah kanan atau kiri, menurut pada prioritas masing-masing. Bertebaran di muka bumi. Meski mengambil jalan yang berbeda, tapi tetap, tujuan kita sama bukan? 

Kadang spekulasi-spekulasi buah pikiran membuat kita merasa sedang berjalan sendiri. Tetapi Ya Rabb, sejatinya kita tak pernah sendiri bukan? Maafkan makhlukmu yang berpikir demikian Ya Rabb. Seperti pagi ini ketika mendapati ada yang tidak beres dengan hati. 

Alasan yang sepele saja. Hanya karena berharap terlalu berlebih pada sesi melingkar kemarin. Ingin bertanya, mengajak berbagi, tapi kemudian kecewa karena tidak seperti yang diharapkan. Tentu hal seperti ini sudah menjadi urusan yang diatur oleh-Mu. Setiap orang pastilah memiliki prioritas masing-masing yang begitu mendesak. Jadi siapa saya mau mempermasalahkan hal tersebut? Agaknya dari hal ini saya dibuat belajar lagi; untuk selalu memperbaiki niat dan berharap hanya pada-Mu.

Dari ketidakberesan rasa tadi, saya coba berkirim pesan pada seorang kawan. Lalu dia pagi ini menjadi ‘perpanjangan tangan-Mu’, memahamkan satu hal yang sudah dituliskan oleh-Mu. 

“Reni lagi di deket-deket Qur’an ngga Ren. Aku tunjukin satu ayat yang ruaaar biasa. Oke sip Al Baqarah ayat 38 ya Ren. Coba kita baca bareng-bareng. Ada yang agak ‘janggal’ ya pilihan katanya. Kan Gusti Allah ngendika: maka BARANG SIAPA mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada MeEREKA dan mereka tidak bersedih hati. 

Nah itu Reni. Kira-kira Allah lagi bicara sama siapa itu. Kalo Reni buka terjemahan per-ayat, Reni bakal tahu kalo faman tabi’a (barang siapa mengikuti/ beriman/ taat) disana me-refer ke satu orang Ren. Personal. Gusti Allah mau ngendika ke kita aja sendiri.

Lho padahal kan abis itu Allah ngendika: khoufun ‘alaihim ya Ren. Yang artinya rasa takut atas MEREKA. Aneh ya Ren, kok ngga dari awal aja Allah ngendika: Maka mereka yang ikut petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka, dst. Eh malah ngendika: Maka SIAPA YANG (personal individu) ikut petunjuk-KU, dst. 

Tau ga Reen, ternyata kenapa Allah bilang begitu ya Ren, karena Allah itu tahu kalo kita pada suatu saat tertentu bisa jadi memang akan sendirian Reen. Jadi Allah secara personal berbicara sama kita: faman tabi’a. Diperintahkan secara personal individu, kepada kita, mengikuti petunjuk Allah. Apapun keadaannya. 

Percayalah ren, di luar sana mungkin ada saudara kita yang lagi co-ass di timor leste atau manapun. Sendirian. Tapi lagi-lagi: faman tabi’a. Biarpun sendirian, dia tetep yakin sama Allah. Sama pertolongan dan petunjuk Allah. Yakin ngga masalah walaupun sendirian, It’s oke. Dia yakin nanti Allah siapkan satu kompi barisan temen-temen yang sama-sama baris di jalan Allah jadi ngga sendirian lagi.”

Kemudian teringat pada kisah Asiyah, yang lalu saya selipkan di atas. Anak ini  juga mengingatkan tentang perang Uhud dimana pasukan yang meski sedikit tetap dibagi dua oleh Rasul, pasukan bukit dan pasukan berkuda, sehingga satu dapat membantu yang lain, saling mengawasi dari kejauhan. Dua contoh yang cukup menjadi pelajaran. 

Membacanya kemudian membuat hati kembali nyaman, tenang. 

Tapi pada dasarnya kita memang tidak pernah benar-benar sendiri,

Gusti mboten sare. 

Baiklah, kali ini saya sedang dalam perjalanan pulang. Mau seperti apakah perjalanan ini saya isi dan bagaimana juga ke depannya? Berbuat selagi bisa dan saya tulis saja sembari menunggu kejutan kejutan.

Semangat yuk ah! Hoho.

--- 

Oya satu lagi. Ini untukmu sang pemilik tulang rusuk -yang aku masih belum tahu siapa-, aku berdoa agar nanti saat berjalan bersamamu, kemanapun itu, aku bisa merasakan bahwa ‘rumah’ itu dekat. 

Rabu, 02 Oktober 2013

Penghias langit.

Dear Ustica Haedy,
Aku hanya ingin sedikit menekankan suatu hal terkait pembicaraan kita yang sudah-sudah. Tentu kau sudah begitu baik memahaminya, lebih baik dariku. Hanya saja menerima pesanmu pagi ini aku jadi ingin sedikit berbagi. Namun terkadang melalui sebaris kalimat, sepenggal kata-kata, pun sekedar berkirim emote melalui telpon genggam tak cukup menggambarkan maksud yang ingin kusampaikan padamu. Maka pada kesempatan ini boleh ya aku bercerita secuplik perjalanan :)


Kali ini adalah tentang kesempatan yang hilang.

Umm, maaf salah. Bukan seperti itu. Aku rasa redaksi kalimat yang lebih tepat adalah;

kesempatan (yang menurut kita) hilang, sedang Allah sudah menyiapkan kesempatan lain yang lebih baik. 


Boleh ya aku mulai dengan mencantumkan sedikit tulisanmu :)
--- 


18 Mei 2013
Prosa khatulistiwa.

Selepas subuh, dengan mukena masih membalut badan, kami bertiga berjalan ke pantai tanpa pulang dulu ke rumah Makdah. Kata Reni, dia akan memperlihatkan rasi bintang Orion (yang pada akhirnya kita menyerah karena tidak bisa menemukannya dari kerumunan bintang yang ‘mendadak’ -entah bagaimana- menjadi sangat banyak dan ramai macam pasar kaget di depan Gedung Sate. :D)

---



Pertengahan Juli 2013.

Pagi benar sehabis subuh aku dan dua temanku menyusur naik-turun jalanan berbukit di Amed. Berhenti di beberapa lokasi, melongok-longokan kepala ke beberapa halaman penginapan, mencari tempat paling nyaman menunggu terbitnya mentari. Mencari lahan lapang tanpa penghalang pada sudut barat, ke arah garis horizon tipis pembatas laut dan langit. 



Kepala kami melongok setiap beberapa meter pada penginapan-penginapan yang memiliki halaman yang menghadap ke arah barat. Berhenti sejenak di celah yang menyisakan ruang antar penginapan satu dengan yang lain, atau pada sela-sela nyiur yang berbaris di tepian. Menemuinya masih kurang begitu pewe lalu kembali menyusur jalanan, hingga kami sampai di ‘gardu pandang’ ini. 

Adalah sebuah penginapan besar yang tampak usang tak berpenghuni. Jalan setapak menuju pintu utamanya ditumbuhi rerumputan liar yang sudah mulai menua, warna hijaunya berubah menjadi kekuningan, mengeras. Mengintip dari celah pintunya yang berderit ketika digeser, ruangan di dalamnya luas berdebu dengan pilar-pilar penyangga atap bangunan. Cat di dindingnya terkelopek di banyak bagian. Mencoba menelisik dari jendela-jendela rendahnya, ada sebuah tangga melingkar untuk turun ke bawah.

Menyudahi mengintai bagian dalam gedung aku segera melangkah ke halaman luas di depan bangunan tersebut. Halamannya benar luas. Pemandangan yang lapang. Mengedarkan pandangan ke sekeliling, gedung ini kurang lebih berdiri di satu bagian bukit di Amed sehingga dari atas sini bangunan lain tampak bersemayam lebih rendah di bawah. Berjinjit dengan memegang pagar tembok rendah berukir, sejauh mata memandang adalah laut biru berkawan langit dengan berwarna semburat oren keemasan di atas batas garis horizontalnya. 

Siapa sangka, kebahagiaan dapat kita temukan di bangunan tua usang seperti ini?

Wajah langit di ufuk barat selepas subuh saat itu. Hasil karya Tuan Langit kita :’)

Wajah langit pertengahan Juli lalu di Amed

Tak ingin menyia-nyiakan udara pagi segar yang disediakan alam, aku menghirup nafas dalam-dalam, menggunakan kapasitas maksimal paru-paru. Membuka kelopak mataku lebar-lebar, mendongakkan kepala. 

Hey, lihat itu. Konstelasi yang sangat familiar!

Empat bintang membentuk segi empat dengan tiga bintang berjajar di tengahnya. 

Orion dengan tiga bintang berjajarnya yang khas

Orion disusul mentari

Ini dia Ca, Orion. Satu rasi yang saat itu kita tak beruntung bersama melihatnya. Dari rasi bintang, ada dua yang (menurutku setidaknya) mudah diidentifikasi tanpa membuka stellarium, yakni konstelasi ini dan konstelasi Scorpion.

Orion; bintang paling terang dari konstelasi ini adalah Rigel. Tiga bintang yang berjajar di tengahnya adalah Alnitak, Alnilam, Mintaka (Alnilam berasal dari bahasa arab :D). Jajaran tiga bintang, posisi unik yang memudahkan kita mengenali konstelasi ini. Hal menarik lain dari konstelasi ini adalah adanya bintang penyusun yang bernama Bellatrix. Nama yang familiar bukan? Ternyata banyak nama tokoh di novel itu diambil dari nama-nama bintang, seperti Remus, Regulus, Sirius :)

Kembali ke pembicaraan sebelumnya. 

Januari lalu dengan-masih-berbalut-mukena, seperti tulismu di atas,melalui gang-gang gelap kita bertiga menuju pantai selepas subuh di desa itu, mencari peruntungan melihat konstelasi ini. Entah itu terlalu banyak bintang bertebar atau jangan-jangan awan saat itu agaknya sedang berembug rapat sehingga berkas-berkas cahaya Orion terhalang, tak tertangkap kornea mata kita.

Tapi Ca, seperti yang kita tahu, Orion tetap beredar di langit. Pagi ini, esok, esoknya lagi, pun satu pagi Januari lalu –saat kita sedang kurang beruntung- atau bahkan kemarin lusa Orion tetap di langit. Bergerak patuh pada lintasan edarnya. Kecuali Tuan Langit berkehendak lain.

Namun, untuk dapat memandangnya sempurna seperti selepas subuh ini -dalam hal ini aku yang sedang berdiri di halaman penginapan usang- perlu menunggu pergantian bulan juga berpindah tempat. Pagi itu kita ke pantai coba memandang langit mencari Orion di sana, tapi tak terlihat. Bisa saja esok sebelumnya ketika kita ke tempat itu kita bisa melihatnya, tapi sayang tak kita coba saat itu. Atau esok berikutnya ketika kita kembali ke sana mungkin kita bisa melihatnya, tapi tak jua kita coba. Aku rasa memang ada saat-saat kita perlu menunggu dengan tetap berusaha untuk dapat menatapnya utuh. Bersabar menunggu berkas-berkas awan perlahan menyingkir dari satu dua bintang penyusun konstelasi. Kali ini tak terlihat dari tempat ini, mungkin dapat kita coba untuk melihatnya dari tempat lain.

Agaknya begitu juga kan Ca yang berlaku pada urusan rejeki yang sudah ditetapkan-Nya?:) 

Atau bisa juga kemungkinan ini yang terjadi. 
Saat memandang langit pagi yang sedang berawan kita bisa mengira satu dua bintang termasuk dalam satu konstelasi tertentu. Bukan berarti ada satu dua bintang di langit barat pagi-pagi sekali, lalu kita bisa berkata bahwa itu Orion bukan? Tanpa benar mengecek koordinatnya pada stellarium. Berspekulasi.

Lalu kita memutuskan menunggu, bersikeras untuk melihatnya tapi kumpulan awan masih menutup konstelasi. Awan rapat bergeming. Tak bergerak.

Kalau begini hanya satu yang bisa kita lakukan, betul bukan Ca?;)

Iya betul, berdoa.

Jalan penyelesaian dimana urusan-urusan tidak lagi terhubung secara horizontal. Sehingga tak perlu lagi aku keluhkan padamu kapan kita bersama bisa melihat konstelasi utuh Orion, karena aku tahu suatu saat (barangkali) kau lelah mendengarku melulu bertanya. Sehingga tak lagi kau usulkan padaku kesana-kemari untuk bersama memandang utuh konstelasi ini pagi-pagi, karena (barangkali) aku sudah terlalu lelah untuk selalu berpindah tempat.

Oleh karena itu kan Ca, kita sepakat bahwa jalan paling paling baik adalah dengan berdoa, membangun hubungan vertikal pada Penguasa Langit dan Bumi. Siapa tahu sejurus kemudian doa-doa kita melesat naik, lalu Tuan Langit akan berbaik hati menggerakkan angin untuk mempercepat pergerakan awan yang menutupi konstelasi ini ;)

Tapi tunggu, atau ini yang malah sebenarnya terjadi.
Bila berbagai macam cara sudah kita coba; berpindah tempat, berganti waktu, kemudian menunggu awan menyingkir, pun sudah berdoa pada Sang Maha Penggerak, berharap Dia menggerakkan angin untuk menggeser awan yang rapat menutup konstelasi; tapi tak jua menunjukkan tanda, maka agaknya memang harus kita sudahi. Mendongak terlalu terfokus pada konstelasi di langit, aku takut kita jadi tidak menyadari ada perahu merapat ke tepian yang hanya berjarak dua pelemparan batu dari kita berdiri. Perahu yang disiapkan untuk kita menyusur laut, menikmati keindahan lain Sang Pemilik.

Bolehlah kita sebut kemungkinan-kemungkinan tersebut dengan kejutan-kejutan.

Benar ya Ca, menarik sekali rasanya menunggu kejutan-kejutan. Berdebar-debar gimana gitu hehe. Apa lagi ya yang sedang dipersiapkan-Nya di depan sana?

Allah knows, we do not.

Yang terpenting adalah kita sudah mengusahakan yang terbaik, begitu bukan Ca?

Semoga nanti ada kesempatan lagi kita beli es krim spongebob rasa pisang dari istek, lalu duduk-duduk di kursi di taman ganesha, atau di lapangan cinta di kampus juga boleh hehe. Duduk-duduk di bawah pohon besarnya yang rindang sambil ngobrol banyak hal :’)


Faidza 'azzamta fatawakkal ‘alallah.
---

Dengan menulis ini aku juga sedang menasihati diriku sendiri.

“Jika sepotong kisah hidup kita tidak selesai, tutup potongan tersebut, lanjutkan kisah yang lain. Ada banyak cerita baru yang lebih seru telah menunggu. 
Jika sepucuk keinginan kita gagal terpenuhi, maka tinggalkan keinginan tersebut, teruskan keinginan yang lain. Ada banyak keinginan yang lebih baik yg tersedia. 
Hidup ini sebentar, jangan habiskan berkutat di sepotong kisah saja.” 
-Tere Liye