Minggu, 11 Desember 2016

Maison Bolero: Sinterklaas Dinner

“How you can survive without alcohol?” Simon mengerutkan kening, bertanya pada saya. Saya cuma meringis, terus jawab “If I can survive by drinking fresh water, why I need alcohol?” Dia menampakkan wajah ‘hmm, begitu ya, baiklah’ lalu beranjak, lanjut joget – joget. Saya kemudian memenuhi gelas saya yang sudah setengah kosong, mengalirinya dengan air ledeng. Di Belanda, air putih bisa diminum langsung dari ledeng. Asik ya hehe.

---

Saat Annual Introduction Days (AID), ospek saat masuk di universitas, teman di kelompok saya bilang bahwa dutch identik sekali dengan dua hal; minum dan party. Dan memang betul, setelah saya amat – amati hal tersebut memang begitu adanya. Pada empat bulan masa perkuliahan ini, teman – teman di kelas banyak sekali yang menggaungkan ‘nanti ada party di sini loh’, ‘mau ikut party ini ngga?’, atau ‘party yuuk habis ujian selesai’. Sejatinya karena saya bukan anak yang bisa tahan melek malam sampai pagi, dan waktu ternyata memang habis untuk men-translate ulang pelajaran di kelas, jadi saya belum pernah ikut party apapun. Sebenernya saya penasaran juga, kenapa bisa sih orang party sampe pagi party dan ngapain aja selama itu. Kemudian datang kesempatan buat ikut party, lebih tepatnya sih ngga bisa kabur dari party ini, karena partynya anak sekoridor di flat saya. Yah sudah, sekali ini sekalian mau tau, ngapain sih party itu. 


---

Sembilan Desember malam ini semua mendadak berpakaian rapi jali. Judul dari acara malam ini adalah Sinterklaas dinner, yang merupakan acara makan malam tahunan di Bulan Desember bagi orang belanda pada umumnya. Cerita teman saya, tradisi ini ada oleh kisah sinterklaas yang datang pada tiap tanggal 5 desember malam untuk memberikan hadiah pada anak – anak. Walaupun pada akhirnya mereka saat sudah lebih besar tau hadiah itu dari orang tua mereka, ‘sedih sih dulu pas tau ternyata bukan dari sinterklaas’ kata teman saya. Lucu juga ini mas bule udah segede begini excited banget cerita tentang sinterklaas dan bilang ngerasa sedih pas tau ternyata hadiah yang diterima adalah dari orang tuanya hehehe. Oya, dan kenapa makan malam ini adalah tanggal 9, karena tanggal 5 jatuh di hari senin dan sepertinya semua sedang sibuk kemudian dipindahlah acara menjadi tanggal 9 Desember, jumat malam. 



Makan malam kali ini terasa begitu formal. Meja meja disusun rapih memanjang, taplak dibentangkan. Lilin – lilin putih berdiri menyala di atas tatakan. Piring, garpu, sendok, pisau untuk masing – masing orang (yang sepanjang makanan tersaji saya pake tangan dan sendok aja hahaha) Di sebelah piring terdapat kertas bertuliskan menu makan malam kali ini. Saya pandang – pandangi nama namanya, ada kata – kata yang memakai bahasa perancis, dan ternyata disampaikan oleh teman di sebelah saya, memang menu ini awalnya merupakan menu perancis yang sudah diadaptasikan oleh makanan belanda, diantaranya yang tertulis ada Soup a la citroulle, Hachee della volonta. Saya dan satu orang muslim lain di koridor dari Saudi Arabia, Alhamdulillah tidak perlu khawatir, karena para chef yang menyediakan makanan ini sudah mempersiapkan makanan khusus bagi kami yang muslim, dan satu lagi teman dari Jerman yang vegan.  

Eet smakelijk! Enjoy your meal!

Di acara makan malam ini masing – masing dari kami mempersiapkan hadiah senilai 5 Euro serta sebuah surat untuk diberikan ke satu orang lain. Pura – puranya itu adalah hadiah dan surat dari sinterklaas, gitu ceritanya hehehe. Setiap selesai menyantap satu menu, kami mengambil dua hadiah. Kemudian orang yang namanya terdapat di hadiah tersebut naik di kursinya, membacakan surat yang diterima kemudian membuka hadiah yang didapat. egitu berselang - seling. Dan ternyata memakan waktu cukup lama, makan malam yang dimulai pada pukul 19.00 berakhir pukul 23.30. Lama bangeeet, tahun tahun sebelumnya katanya ngga selama ini padahal hehe. Entahlah, mungkin karena menunya banyak, jadi perlu istirahat dulu, nunggu makanan turun, baru lanjut ke menu berikut lagi, lalu ada dua sesi ngerokok buat yang merasa perlu merokok, makan malam terlama sejauh ini sih hehe

Read the poem

Poem and gifts from sinterklaas
Pukul 11.30 makan malam akhirnya selesai dengan brownies+pisang iris+es krim vanilla sebagai makanan penutup. Setelah itu piring-piring, sendok, semua alat makan dikumpulkan. Meja – meja didorong ke tepi ruangan. Musik disetel. Daaan, inilah saatnyaa..party!


Ruizhe, where are you?

Ceciwi di koridor

Hmm.
Ternyata party orang – orang tidak se-liar yang saya kira ^^a saya pikir awalnya orang – orang akan mabuk berat sampe keliyengan macam orang yang lagi memakai jurus mabuk, nabrak – nabrak. Pada dasarnya isi dari party adalah ngobrol – ngobrol dengan backsound musik jedag jedug, sambil merokok sambil minum minum, sambil joget – joget juga. Saya memilih berdiri setengah bersandar ke meja, menggenggam gelas yang berulang diisi air ledeng. Ngga bisa aja rasanya mau ikut joget. Berasa badan rada kaku buat joget joget wkwkwk. Disinilah kemudian ngobrol ngobrol segala macam hal; mulai dari kenapa sih ngga minum alcohol, kenapa orang Indonesia selalu gembira, temen saya yang bilang menurut pengamatannya saya berasal dari muslim konservatif, tentang temen saya yang tidak bisa menerima bahwa alkohol bukan sesuatu yang bisa dikaitkan dengan hal yang religius, terus membahas jenis jenis ‘weed’ yang legal dan dibolehkan di Belanda, temen sekoridor yang ternyata suka ngerokok sambil naruh ‘weed’ di rokoknya, tentang les bahasa prancis, tentang saya yang menurut teman pengucapan bahasa perancisnya sungguh cukup buruk (bukan cukup baik, duh sedih), obrolan lanjutan tentang kisah sinterklaas, tentang jenis rokok di Belanda, kemudian denger curhatan temen Jerman saya yang merasa masih kurang nyambung sama leluconnya orang Belanda, tentang temen yang kurang puas sama mata kuliah minor yang diambil di universitas lain, sampe ngobrolin tentang peristiwa bunuh diri di kalangan pelajar di sini. Iya cuy, ngobrol tentang peristiwa bunuh diri di beberapa flat di sini. Sungguh obrolan yang beragam. Sampai waktu menunjukkan pukul 02.00 dan saya sudah tidak bisa lagi menahan kelopak mata untuk melek, saya pamit undur diri. 


Fiuh.
Sampe di kamar, saya menghela nafas. Dari obrolan – obrolan, saya disadarkan lagi dan lagi  bahwa betapa Allah menciptakan makhluk bersuku – suku. Bervariasi. Dengan berbagai bahasa, bermacam rupa. Berbeda – beda. MashaaAllah.

Ada rasa senang bisa mengenal lebih dekat teman – teman di koridor. Ada rasa kepikiran, terutama ketika menjawab pertanyaan – pertanyaan yang terkait dengan agama. Kalo merunut lagi jawaban yang disampaikan, kadang suka jadi kepikiran ‘haduh kudunya tadi jawabnya begini’ ‘kurang ngejelasin di bagian itu’ semacam begitulah. Atau kadang takut juga perkataan saya sebagai muslim apa menyinggung atau tidak. Buat saya, perlu mikir banget untuk menghadapi pertanyaan – pertanyaan yang berkaitan dengan hukum – hukum agama. Harus cari cara sedemikian rupa yang sebisa mungkin dapat diterima oleh logika mereka. Kalau sudah ada pertanyaan – pertanyaan yang menyerempet tentang agama saya cuman berdoa semoga dalam setiap kalimat yang terucap selalu dalam bimbingan Allah, Semoga Allah juga mudahkan mereka untuk menerima jawaban, bukakan hati. Dan Alhamdulillah, sebenernya pertanyaan – pertanyaan ini juga yang membuat saya menjadi harus lebih mencari tahu benar – benar alasan mengapa dalam hukum agama begini mengapa begitu. 


----

Pada akhirnya saya ikut party. Yeay! Sekali dua kali bolehlah ya *sungkembapakibu*. Untuk temen temen londo yang emang bener - bener deket. Tapi pada dasarnya saya sadar diri bahwa emang saya tidak diciptakan untuk ikut party macam begini, lha wong jam 11 malem aja mata rasanya udah begitu ngantuk tuk wkwkwk. Agaknya dicukupkan dulu pengalaman menarik dari negoro londo ini, dan sebagai penutup, saya tuliskan surat dari sinterklaas, ehm, dari teman koridor :')

Dear Raini,
Welcome to The Netherlands
I hope you’ve made a lot of friends
Sinterklaas is very proud that you came here all the way
And he hopes that you are enjoying every day

Sinterklaas knows that you are running a blog on the internet
Where you are sell soap at
Sinterklaas likes it very much
It is not something he sees a lot among the dutch

Your wish list wasn’t very long
But that is not necessarily wrong
You only wrote down your dreams for the future
I know they’ll come true, for sure

So in few years it will be a lecturer Raini
or in aquaculture is where you will be
The present is something typical dutch
I hope you like it very much

Love,
Sinterklaas

*All pictures taken by Simon Goddek, except the menu and gift pictures, by me. 

Sabtu, 19 November 2016

My dearest, Dek Ratri (2)

If somebody asks how I sum up my sister in three words, so it would be; mature, persistent, generous. Though medical history declared I was born eleven months prior to her, at the time when night came and I had a kind of me-time for exploring things blew up in my mind, in the silence of my heart I, somehow, believe she should have been the older one. Not in a one or two occasions, I sadly laugh at the childish part of me when comparing myself to her, admiring on how she makes decision, the way she deals with complicated situations.

Well, one said that sister is a friend and defender – a listener, a conspirator, a counsellor and a sharer of not only delights but also sorrows. Then, she actually is. My dearest Dek Ratri, thanks a million for your presence, always, for your countless helps to ‘maintain’ my ‘buoyancy’, for always encouraging and supporting me. Cant wait to see you here. Yes, here. See you when I see you!


---
Dek Ratri, bagi saya, ibarat Arai :’)

Edensor
Suatu ketika, pada bulan puasa, kami harus pulang karena ayahku sakit. Tak ada kendaraan yang dapat ditumpangi. Kami berjalan kaki, tiga puluh kilometer dari kota tempat SMA kami berada. Matahari membara, tepat di atas kepala. Panas menjerang tanpa ampun, aspal meleleh. Perutku kosong, kerongkongan kering. Aku melangkah seperti rangka kayu yang reyot. Pandangan berkunang-kunang. Kami kehausan dan menderita dehidrasi, bahkan sudah tak lagi berkeringat. Aku tak sanggup, waktu melewati danau aku ingin membatalkan puasaku.

“Jangan,” sergah Arai tersengal-sengal. Ia membopongku. Kami melangkah terseret-seret. Aku tak mampu bertahan. Kembali melewati danau, aku mendesak ingin minum.

“Jangan,” sergah Arai.

“Jangan, Tonto, jangan menyerah.”

Arai menaikkan tubuhku ke atas punggungnya. Ia memikulku. Langkahnya limbung, terseok-seok berkilo-kilometer. Ia istirahat sebentar, lalu memikulku lagi. Napasnya meregang satu per satu, hidungnya mendengus-dengus seperti hewan disembelih. Tumitnya mengucurkan darah karena terjepit jalinan kasar sepatu karet ban mobil. Ia melangkah terus, terhuyung-huyung. Tak sedikit pun ia mau menyerah. Sampai di rumah, aku terkapar tak berdaya. Arai tersenyum. Aku menatap matanya dalam-dalam.

Tiba-tiba, Prancis rasanya dekat saja.

Senin, 17 Oktober 2016

Trade-off

Geregetan adalah ketika jaman-jaman PK, dimana koneksi internet menjadi kebutuhan primer. Saya yang sedang bersemayam di tempat yang fakir sinyal jadi kudu (sering) bela-belain bermotor dari bukit ke pantai yang notabene lebih ramah sinyal. Menaik-turunkan, mengibas-kibaskan handphone demi nyangkutnya sinyal (setidaknya) 2Mb hingga muncul tanda centang di whatsap/telegram. Kalo udah centang satu, lega sudah pesan terkirim. Terhindarlah dari ke-terdepak-an kerana dianggap tidak aktif #eh 

Geregetan lain adalah suatu pagi menjelang musim gugur. Saat keluar dari gedung asrama bersiap menuju kampus, satu detik kemudian setelah membuka pintu menyadari bahwa suhu pagi itu mencapai 2°C dan lupa membawa serta sarung tangan. Menimbang-nimbang kembali ke kamar rasanya akan eman-eman waktu. Terbayang kudu menunggu lift/menaiki anak tangga. Duh, males banget. Ya sudah. Pasrah aja nyepeda 10 menit tanpa sarung tangan yang meski masih musim gugur -iya boy, masi musim gugur boy- cukup membuat jemari ini jadi terasa kebas.

Kalo ditilik-tilik, hidup itu gabungan dari episode - episode kromatis. Berbeda - beda warna. Disana hangat, tapi ada keterbatasan aksesibilitas. Disini dimanjakan oleh sarana dan prasarana, tapi pada beberapa waktu tertentu ketika merasakan adem yang 'gini banget', kalau diibaratkan sedang syuting serial tv dunia lain, saya kadang pengen melambaikan tangan ke kamera 'nyerah pak, saya mau nyerah aja'.

Sejujurnya deretan 'geregetan' itu kalau diingat lagi kadang membuat saya jadi senyum-senyum sendiri, gitu aja kok sampe baper *dasarrenibaperan* dan kadang malah hati sesekali menggerutui keadaan. Astaghfirullaah.

Beberapa waktu lalu, saya kembali diingatkan melalui tulisan seorang kawan tentang bersyukur. Betapa saya mudah terlupa, bahwa syukur merupakan koefisien yang melipatgandakan nikmat. Semakin banyak bersyukur, semakin banyak nikmat yang diberi; janji Allah. Syukur yang diterjemahkan menjadi bagaimana seseorang dapat menikmati serta memaknai proses ekskalasi diri dari waktu ke waktu, yang di dalamnya ada peran naik-turun, ada sedih-senang, ada tangis-tawa. Proses yang seharusnya dapat membuat saya hari ini lebih baik dari saya yang kemarin.

Membaca tentang trade-off *seminggumenujuexam* seenggaknya membuat saya sadar masih ngga memanfaatkan waktu dan kesempatan dengan optimal, dan betapa saya ini procrastinator banget :( Huks. Pokoknya ngga ada lagi menunda-nunda. Bersegera. Kudu lebih melek lebar-lebar, lebih gesit, lebih gercep alias gerak cepat. Harus bisa lebih baik lagi dalam memanfaatkan waktu dan energi pada kesempatan yang tersedia sekarang. Karena dengan segala kesempatan yang hadir bersama dengan keterbatasan, hidup harus dioptimalkan. Pokoknya, jangan kasi kendor!

Sebaik-baik nasihat adalah kematian. Melekat padanya sebagai pembatas, adalah waktu. Manfaatkan baik - baik mudamu sebelum tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum fakirmu, luangmu sebelum sibukmu, hidupmu sebelum matimu.

---
Dingin-dingin belajar trade-off, tulisannya jadi begini. Maunya sih ada di tempat yang sarana-prasarana mendukung, koneksi bagus, cuaca cerah dan anget terus dan blablabla lainnya. Maunya sih gitu *wanitabanyakmaunya* tapi ya gimana lagi dong, mari kita nikmati saja perjalanan ini hehe. Dan inilah dua potret yang agaknya dapat menggambarkan trade-off kehidupan lintas negara ;)


Indonesian MAM 2016 dari kiri ke kanan; Kadi, Mas Ferry, Frita, Ince, Deka, Satya, saya, Yitno, Ani
Ini adalah keluarga baru saya di Wageningen, Belanda. Mau dinginnya cuaca kaya apa, dekat dekat mereka selalu bisa jadi hangat lagi *ihiwihiw*



Foto ini diambil di Desa Pam, Raja Ampat. Tempat dimana untuk sekedar menelfon dengan lancar atau mendapatkan sinyal internet, perlu setidaknya berkendara lintas pulau selama kurang lebih tiga puluh menit menggunakan speed boat menuju pulau Arborek, pulau terdekat yang memiliki akses sinyal yang cukup kuat. Ah, tapi hal tersebut di Desa Pam tak begitu menjadi masalah. Toh kebahagiaan tak melulu diukur oleh ketersediaan sinyal bukan? :')  

Rabu, 12 Oktober 2016

Dedaun cokelat.


I love my friends neither with my heart nor with my mind. Just in case, heart might stop, mind can forget. I love them with my soul. Soul never stops or forget. -Rumi

Dear Ica, bagaimana kabarnya? :')
Satu purnama telah berlalu, Ca. Kalau boleh aku sampaikan, Belanda dengan rupa - rupa wajahnya menghadirkan kejutan - kejutan yang berbeda di perjalanan kali ini. Lain kesempatan ya Ca, akan kuuraikan. Kali ini izinkan aku menyalin suratmu. Surat yang selalu bisa membuatku jadi 'gerimis'. Agar dapat menjadi pengingat juga bagi sesiapa yang membacanya. Semoga Ica selalu dalam lindungan Allah SWT, semoga Ica selalu dalam kelebih-baikkan

Salam kangen,
Reni



---

Bismillahirrahmanirrahim..
Dear Reni,
Apapun keadaannya Ren,
Baik sangka kepada Allah adalah akar segala bahagia
Alhamdulillah Allah sebutkan di Al – Baqarah:186, bahwa Allah Yang Maha Baik mempersyaratkan satu hal yang pertama supaya doa Reni Ia kabulkan; yaitu “berdo’a” itu sendiri
Cara terindah dari – Nya, dan terbaik untuk Reni
Di hadapan Allah, tidak ada yang sia – sia
mimpi – mimpi Reni, setiap tetes air mata Reni di pertiga malam itu, atau ikhlas Reni yang sungguh itu, di hadapan Allah tidak ada yang sia – sia

Teruslah berjalan Reni,
Kutitipkan sebagian mimpi – mimpiku di takdir Allah untuk Reni ini ya Ren
Tapaki dunia, ambil pelajaran dan hikmah darinya
Ren, mungkin akan ada kalanya kita khawatir dan takut menghadapi hal yang baru
Tidak apa – apa Ren. Tidak apa – apa
Bumi Allah ini, setiap jengkalnya, dan jiwa – jiwa manusia yang berjalan di atasnya hanyalah milik Allah. Satu – satunya yang berkuasa

Maka Ren, segala rasa itu, sampaikan pada – Nya
Adukan pada Allah; lalu berdoa
La Tahzan, Innallaha ma’ana. Allah bersama kita selalu Reni. Apalagi jika kita mendekat pada – Nya
Kemudian Ren, teruslah berjalan. Lanjutkan perjuangan

Reni,
Yakinlah bahwa jalan menuntut ilmu, adalah jalan menuju surga
Maka, Bismillah...mari kita murnikan niat Ren
“Duhai Allah, segala perjuangan ini, hanyalah supaya Engkau ridha.”
Jagakan keluarga kamu Duhai Rabb. Ridhai juga setiap langkahnya
Mudahkan kami Rabb, sungguh kai adalah hamba yang selalu butuh pertolongan – Mu
Kuatkan hamba Ya Rabb, penuhi dengan sabar dan syukur
Berikan damai dalam jiwa, karena ianya selalu mengingat – Mu
Reni,
dimanapun berada, menjadi baiklah untuk diri sendiri
dan jangan lupa menjadi jalan kebaikan untuk sesama
meraih, sekaligus memberi
memaknai setiap detinya dengan jiwa yang penuh untuk beribadah. Untuk beribadah

Reni,
semampumu, jangan pernah ragu dalam membantu
Tetaplah menjadi Reni yang peka, berjiwa petualang, sayang ibu, bapak, dek Ratri, dan Reni yang dekat dengan Allah
Jelajahi waktu

Jelajahi dunia
Lalu ceritakan kepadaku, seperti apa hikmah dari Allah yang kau temu

Reni,
karena do’a bukan ukuran tentang jarak,
mari tetap saling mendo’a
Wahuwa ma’akum ainama kuntum

Bandung, Agustus 2016
Ica - dengan pulpen yang tak biasa ^-^

Minggu, 18 September 2016

Intro.

Pada hari – hari mendekati keberangkatan saya ke Belanda, saya jadi mudah baper.  Rasanya selalu jadi mellow kalau mengingat segala sesuatu hal tentang keluarga, tentang sahabat, orang- orang terdekat di Nusa Penida. Baper saya memuncak pada dua malam menuju tanggal penerbangan. Belum selesai melakukan cek barang bawaan, saya keluar dari kamar, menghampiri bapak dan ibu yang sedang berbincang di ruang tamu.

“Pak, aku kok rodo takut yo mau sekolah lagi. Kenapa ya ini. Bapak ibu nanti kangen sama aku ngga?” saya susah payah menahan biar baper di hati ngga jadi air mata.

“ Lho kok malah wedi kenopo. Kan Mbak Reni yang minta ke Allah, terus Alhamdulillah sekarang dikabulkan gitu tho,” kata bapak.
“Tapi kan pak, aku ki kan takut nanti kalo kangen kangen tu terus gimana, kan aku jauh dari rumah. Kalo di Bandung apa di Bali kan aku bisa pulang, atau bapak ibu yang ndatengin aku,” air mata tumpah ruah. Sekejap jadi alah nangis sesenggukan. Ya Allah, belum saja berangkat tapi saya sudah terbayang dulu bagaimana nanti rasanya menahan kangen pada bapak ibu adek, pada rumah, pada orang – orang terdekat. Meski hanya dua tahun, pikir saya, tetep aja belanda ya belanda, jauh.

“Lhoo ya jangan nangis tho,” bapak malah menertawakan saya, kemudian dengan senyum khasnya bapak bilang ”Kan ini kaya dulu mbak reni ke Bandung, cari kosan, sekolah cari ilmu. Sekarang di Belanda, lhak sama sama depannya ‘B’ hehehe. Coba diliat lagi niatnya, ini kan salah satu jembatan buat cita – citanya mbak reni tho, masuk list doa doa yang dititipin ke bapak ibu pas haji kemaren. Sudah diikhtiarkan, bapak ibu sudah doakan, kemudian sama Allah dikabulkan, Alhamdulillah. Sopo sing ra seneng nek dongane dikabulkan Gusti Allah. Wes, teko mantep tinggal dijalani, diseriusi. Ada Allah, yo ndak usah takut. Dan jangan malah sedih, nek mbak reni sedih bapak ibu yo jadi sedih. Dah, diterusin le siap siap”

Saya renungi pesan bapak. Rasanya hati jadi lebih adem. Lebih lega. Lebih ikhlas. Dari sini saya jadi teringat pada satu bagian di buku Alchemist, berkisah tentang perjalanan seorang pemuda yang ingin menggapai mimpi, tertulis pada salah satu halamannya;

In his pursuit of the dream, he was being constantly subjected to tests of his persistence and courage. So he could not be hasty, nor impatient. If he pushed forward impulsively, he would fail to see the signs and omens left by God along his path. [The Alchemist, page 89]

Courage. Persistence. Patient.

Saya coba flashback, bukan proses yang pendek untuk berada pada titik ini. Yaa Rabb, karuniakan keberanian, kemampuan, kelembutan hati, juga rasa syukur yang luas dalam, agar terhindar dari perasaan – perasaan yang membuat lupa apa yang menjadi tujuan utama; bahwa menuntut ilmu adalah jalan menuju surga – Mu.


Tepat malam ini, satu purnama sudah saya di Wageningen, Belanda. Ada waktu – waktu ketika rasanya begitu kangeen sekali sama bapak, ibu, adek. Kangen yang (ternyata) tidak bisa sepenuhnya diobati dengan komunikasi via telfon atau video – call. Di saat – saat seperti ini saya ingat pesan dari sahabat, bahwa jalan terbaik menyampaikan rindu adalah menyelipkannya pada doa – doa. Agar mengangkasa. Agar disampaikan dengan cara terindah oleh Sang Pemilik Hati.



Terimakasih ya bapak, ibu, adek, untuk selalu saling mengingatkan, mendukung, melindungi, dan melengkapi. Semoga Allah ridha untuk tidak hanya mempertemukan mbak reni dengan bapak, ibu, adek ini di dunia, tapi juga di akhirat. Pada kehidupan yang hakiki. Aamiin :’)

Minggu, 03 April 2016

Nusa Berdaya.

Sejatinya blog ini dibuat atas saran sahabat, Silvia Rahmy, karena dia melihat betapa saya terperangkap pada kebahagiaan masa lalu *tsaah* Masi inget ya sil malam – malam kita di lab, kamu bekerja dengan cawan petri lalu aku sibuk melihat – lihat, menggumam, menceritakan (hingga kamu mungkin bosan) bagaimana aku menghabiskan waktu 4 bulan di Toyapakeh, salah satu kampung pesisir yang ada di Pulau Nusa Penida; a memorably  memento.

Tidak terasa sudah 4 tahun berlalu sejak kali pertama menginjakkan kaki di Toyapakeh. Sejak itu juga merasa diri ini menjadi terlalu obsesif kompulsif dengan Nusa Penida hihi. Dan detik ini, ketika saya dalam proses menguraikan kenangan lain yang tertaut dengan desa itu, hati saya masih saja berdebar tak seperti biasanya *ahlebay*

Empat taun lalu bareng adik adik di Toyapakeh :')

Penelitian terkait pemijahan terumbu karang di Perairan Toyapakeh, Nusa Penida, mengantarkan saya pada kelulusan sarjana pada April 2013. Tertarik dengan dunia kelautan, kemudian saya memutuskan bekerja pada salah satu LSM (NGO) di Bali, yang memiliki fokus terhadap kegiatan konservasi terumbu karang. Di sinilah saya kemudian mengenal selain metode ilmiah untuk pengambilan data, juga softskill bekerja dengan masyarakat, bagaimana membangun kerjasama dengan stakeholder  di wilayah pesisir dan laut – pihak universitas, peneliti, perangkat pemerintahan, pemilik hotel dan resort, nelayan. Atas pengamatan selama bekerja, saya dihadapkan pada fakta bahwa sisi ekonomi dan pendidikan masih menjadi tantangan utama dalam pengelolaan pesisir dan laut secara berkelanjutan.

Pemijahan Acropora sp
Pada kesempatan – kesempatan bertemu dengan kelompok masyarakat untuk melaksanakan program, tak jarang saya merasa terpentok dengan permasalahan pendanaan. Berbagi cerita dengan teman yang juga bekerja di bidang yang sama, tantangannya tidak jauh berbeda. Ngga bisa begini karena ngga cukup dana. Ngga bisa segera melakukan itu karena ngga ada duit. Ngga bisa jalan, masyarakatnya kurang greget karena kegiatan yang dilakukan bukan kegiatan yang menghasilkan profit, kemudian program mandeg. Bubar jalan. Sedih :(

Saya menyadari bahwa kegiatan pelestarian lingkungan, dalam wujud apapun itu, perlu sekali dilakukan. Tapi kalau sedang kesel keselnya dengan realita yang ada saya suka menggerutu sendiri ‘ya gimana orang mau mikirin ngejaga lingkungannya untuk tetap lestari sedangkan bagi si orang itu untuk melangsungkan hidupnya masih kesulitan, untuk sekedar makan sehari hari saja masih kalang kabut. Perut keroncongan dijejelin ini itu. Mau coba ngomongin tentang konservasi saja masyarakat jadi malah (ada yang) antipati huft.’

Satu hal yang terpikir, yang kemudian menurut saya urgent untuk dimasukkan pada daftar hal - hal yang kudu dilakukan dalam hidup; harus mengelola bisnis yang dijalankan bersama masyarakat, dimana bisnis tersebut dikorelasikan dengan kegiatan pendidikan. 

Setelah 1 tahun 10 bulan bekerja, April 2015 lalu saya resign. Alasan prioritas saya mengundurkan diri utamanya adalah untuk persiapan melanjutkan studi di akhir tahun 2016 ini. Tapi ternyata, bersamaan dengan persiapan melanjutkan studi, hidup membawakan saya kesempatan untuk membangun bisnis yang dikelola bersama masyarakat.

Inisiatif ini berawal dari pertanyaan yang diajukan seorang teman, Kadek Agus Wardana, tentang pemanfaatan rumput laut di daerah asalnya yang kurang optimal. Kadek Agus adalah pemuda asal Desa Suana, salah satu desa penghasil rumput laut terbesar yang terletak di pesisir timur Pulau Nusa Penida. Agus menyampaikan bahwa penjualan rumput laut sejauh ini masih berupa raw material. Rumput laut setelah dipanen kemudian dijemur, setelah mencapai fase kering kawat lalu dijual kepada pengepul.

Selain Kadek Agus, ada Muhammad Andriza Syarifudin. Kami bertiga sebenernya sih semacam reuni kecil dari kegiatan volunteer yang pernah kami ikuti pada akhir tahun 2013 hehe. Saat itu ada kegiatan pembuatan perpustakaan di Desa Batukandik, di Pulau Nusa Penida. Sempat ngobrol – ngobrol bertiga sebelumnya, tentang rumput laut dan sebagainya makanya jadi nyambung.

Tim Inti Nusa Berdaya  *gayabocah*
Kegiatan volunteer di Desa Batukandik sebelum kami membentuk tim 
Singkat cerita, berbekal tekad kami membangun tim yang diberi nama Nusa Berdaya. Dengan latar belakang senada, kami sepakat mengembangkan Nusa Berdaya dengan konsep social business, dimana kami bekerja bersama para orangtua untuk membantu pemenuhan kebutuhan secara ekonomi serta melakukan kegiatan bersama anak – anak dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan. Kami mengadakan beberapa rapat kecil membahas tentang visi dan misi, juga memformulasikan action pertama kami. 

Atas beberapa coba – coba yang kami lakukan; jual beli kerapu hingga rencana membuat keramba, bekerjasama untuk membuat fillet tuna dan baramundi, pengolahan rumput laut menjadi permen jelly dan dodol; kami anggap belum dapat diwujudkan saat ini karena berbagai pertimbangan. Sempat pusing juga menentukan bisnis apa yang pas untuk memulai. Kami kemudian mencoba lebih memperhatikan kepada apa yang masing – masing dari kami miliki, jaringan, ilmu, softskill, dan sebagainya, melihat kebutuhan serta ketersediaan pasar. 

Dari proses kontemplasi singkat dan beberapa pertimbangan, sebagai aksi pertama bersama di Nusa Berdaya kami memproduksi nusapenida natural soap, yakni sabun alami dari bahan – bahan yang tersedia di sekitar pulau. Kami mentargetkan produk tersebut menjadi souvenir khas dari Nusa Penida. Produk ini menjadi motor untuk membangun mimpi kami bersama dalam mewujudkan masyarakat pesisir yang sejahtera, mandiri dan memiliki daya saing. Masyarakat yang dapat mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, mampu melaksanakan kegiatan pengolahan produk dari hulu ke hilir.

Nusa Penida Natural Tropical Soap
Dalam membangun social business ini kami bekerjasama dengan beberapa kelompok masyarakat. Untuk mensuplai raw material, kami bekerjasama dengan beberapa petani dari berbagai desa di pulau. Bahan dasar yang kami dapatkan dari para petani diantaranya rumput laut, kelapa, kunyit, dan lidah buaya. Sedangkan untuk kegiatan pengolahan sabun kami bekerjasama dengan ibu – ibu pkk di Desa Toyapakeh. Selain akses pasar terbesar memang melalui Toyapakeh, saya pribadi sudah memiliki emotional relationship yang cukup baik dengan masyarakat untuk memulai kegiatan di desa tersebut.

Supply rumput laut dari petani di Desa Suana
Mek Guna yang mensuplai kunyit

Pelatihan pembuatan sabun alami bersama ibu ibu pkk Desa Toyapakeh
Tidak mudah (ternyata) hehehe. Proses ‘membuka jalan’ yang tentu menjadi tantangan utama untuk membangun bisnis. Galau, gundah, gulana, semangat naik – turun, berusaha untuk tetap naik naik naik mendaki. Hingga satu titik penting yang memberikan kemajuan bagi kami, yakni saat ikut serta mengisi booth pada acara Festival Nusa Penida. Saat melakukan tes pasar di acara tersebut kami bertemu dengan wisatawan asal Australia, Samantha, yang menyatakan ketertarikannya terhadap produk kami. Samantha kemudian memperkenalkan kami dengan beberapa bule yang tinggal di pulau. Alhamdulillah, setelah itu perlahan jalan mulai terbuka, pasar menjadi lebih nyata untuk kami raih.

Inilah kami. Masih dalam perjuangan untuk mendaki. Bedanya dengan enam bulan lalu adalah, kami bersyukur saat ini memiliki tim yang sudah jauh lebih lengkap dan berbahagia. Tiap harinya meski selalu saja ada yang comel ini itu, kelupaan ini itu, luput ini itu, meski dengan kesel keselan yang ada hihi tapi semoga seluruh anggota tim selalu kompak semangat untuk terus maju, tumbuh, dan berkambang, Nusa Berdaya dan ibu – ibu pkk :’)

Almost full team 
Dalam  enam bulan keberjalanan, tim didukung oleh berbagai pihak. Dukungan utama, terbesar adalah dari Allah SWT. Selalu saja, selaluu ada yang namanya kebetulan kebenaran di tiap - tiap hal yang dijalani. Kemudian bagi saya pribadi, dukungan datang dari dari bapak dan ibu yang memberi izin atas pilihan ini. Bagi tim, dukungan utama datang dari Yayasan Dompet Dhuafa, yang telah mempercayakan kami untuk mengelola dana hibah dari Grant Making Program 2015, memberikan training sebagai tenaga pendamping serta dukungan lain yang membantu perkembangan Nusa Berdaya. Dukungan dari Pak Perbekel (Lurah) Desa Toyapakeh, ibu – ibu pkk khususnya serta masyarakat desa pada umumnya. Seneng aja saya kalau di jalan disapa lalu ditanya tentang perkembangan pembuatan sabun hihi. Kami juga sangat bersyukur atas dukungan yang diberikan oleh Pak Mike Appleton, Altaire Cambata, Jacquie Scull, serta Liza Rae Dawn. Banyak ide – ide baru yang terbangun dari obrolan – obrolan bersama mereka. Seperti ide melaksanakan workshop pembuatan sabun bersama dengan wisatawan di Penida Collada, warung makan ala bule milik Liza. Atau distribusi produk di beberapa tempat di pulau, salah satunya ialah ke The Gallery Nusa Penida milik Pak Mike. Beliau adalah orang pertama yang menghubungi kami, meminta produk kami mengisi gallerynya. Pak Mike selalu berkata bahwa dia menjual produk kami dengan trust, kepercayaan. Ya Allah, saya jadi suka terharuu sudah diatur sedemikian rupa dipertemukan dengan orang orang ini :’)

Kunjungan wisatawan ke Rumah Produksi
Workshop di Penida Collada
Saya membantu menterjemahkan  penjelasan ibu ibu pkk pada peserta

Nusa Penida Soap di Gallery Pak Mike

Bermacam sudah cerita dalam proses perkembangan Nusa Berdaya yang masih seumur jagung ini dan saya menantikan kejutan – kejutan lain kedepannya :’) kalau mau dituliskan dalam satu artikel akan terlalu panjaang. Maka sekian dulu saja tulisan tentang Nusa Berdaya, semogaa saya dihindarkan dari rasa malas untuk menyambung tulisan ini hehe 

Anyway, silakan berkunjung ke Rumah Produksi kami di Desa Toyapakeh – Nusa Penida. Jangan sungkan mampir yaa kalau sedang dolan ke Bali atau berada di sekitar Nusa Penida! :)




Rabb, 
bila ini dapat memberikan sebesar – besar manfaat
mohon Engkau selalu bukakan jalan
dan teguhkan

I am following the omens. 

Selasa, 09 Februari 2016

The maps


I remember in detail of how then I owned these maps.

It was at the end of 2013, when I was in a christmas and a new year holiday visiting my hometown, Magelang. I went to a small bookstore as being suggested by a friend of mine, Ustica, buying a map of Indonesia and a world map. Since after that, I dropped marks to several places, cities, and countries for my future visit on it.

She said vigorously that time,”I just buy it anyway, you too please. Let us start arranging our future europe trip, even just from purchasing the map of it in advance. What can we do the next, we will think about it afterwards.”

The greatest inspiration to us came from the Indonesian Film of 99 Lights in European Sky – 99 Cahaya di Langit Eropa. Recalling back the time I saw it, I ended the film with the glowing eyes, how I then felt a beautiful pride and a sadness at the same time knowing the historical development of Islam in Europe; Turkey, France, Napoleon Bonaparte, Louvre Museum, Notre Dame Church.

I decided; I have to visit Europe. Someday. No matter how.

I keep those map well along with the I-am-not-quite-certain-to-be-materialized-desire for the last two years. Once I could be a girl with the glazed eyes if thinking how I eager to experience  Islam in Europe. As time goes by, the desire evolves to be more than that. Modifying my europe-trip-dream to also learning aquaculture science, an appeared thought after I worked in a marine NGO. And other following modified dreams; building a social enterprise, having a big culture of sea cucumber, getting closer and closer to coastal people.

And after the ups and downs of chasing those all, in the end of 2015 an opportunity was miraculously blowed away to me. All praise to Allah, Alhamdulillah, Allahu Akbar! I got a ticket to continue my master study to europe, a full scholarship program from the government of Indonesia.

Dream big. Start small.

I am, so as the many many other people, the biggest admirer of God’s work. He, by the unseen hand, build a wonderful path connecting million sons of adam to their dreams. He plays on his own rules, puts wisdoms on every single occurence, either in a good one or a bad one, confers upon us a magical power to face the bittersweet of life.

Had a dream
Keep it in our deepest heart
Muster our best effort
Have a good prejudice
Let the universe leads us to it

I always believe what I want to believe. You also, can believe what you want to believe, anyway.