Minggu, 26 Januari 2014

Don't say don't (?)

Jangan nakal.
Jangan lari-lari.
Jangan main api.
Jangan lupa makan siang.

Empat kalimat pendek di atas merupakan contoh pemakaian kata ‘jangan’ untuk pelarangan suatu tindakan. Dalam menasehati anak kecil khususnya, marak himbauan untuk tidak menggunakan kata ‘jangan’. Menurut himbauan yang tersebar, selidik punya selidik menggunakan kata ‘jangan’ dikhawatirkan akan memberikan hasil yang sebaliknya. Misal pada kalimat ‘jangan main api ya nak’ kemudian si anak kecil yang dinasihati malah pada akhirnya main api. Atau pada kalimat yang simbah saya dulu pernah katakan ‘jangan kepleset, nanti gelasnya pecah’ kemudian saya terpeleset pun gelas yang saya bawa pecah berkeping-keping.

“Kamu pernah denger kan tentang himbauan ‘Don’t say don’t’ ke anak-anak, dimana kalau menggunakan kata ‘jangan’ ke anak-anak malah akan dilanggar. Kamu setuju ngga?” tanya teman.

Saya kontan menjawab,” Setuju. Soalnya ngga cuma di anak-anak. Di aku juga gitu, misal kaya pas ibuku atau siapa bilang 'ati ati jangan sampe jatuh'. Nanti yang kepikiran adalah bagian 'jatuhnya' lalu beneran jatuh jadinya.”

Yang saya pahami dari alasan-alasan yang dikemukakan sebelumnya, hal tersebut disebabkan oleh efek psikologis. Suatu hal dikemukakan bukanlah tanpa maksud. Saya pikir himbauan tersebut pasti telah melalui pertimbangan-pertimbangan, penelitian yang membawa hasil sebagaimana telah dikemukakan. Dengan menggunakan kalimat positif, menghindari penggunaan kata ‘jangan’, maka perilaku selanjutnya (diharapkan) akan baik.

“Tapi ya ada contoh hadits ‘La Tahdob wa lakal jannah’ artinya janganlah kamu marah dan bagimu surga. Lalu di Al Qur’an pun banyak pemakaian kata ‘jangan’. Kebanyakan orang sekarang pasti cenderung setuju dengan teori tersebut yang didasarkan penelitian tanpa melalui pendekatan historis teladan zaman, Rasulullah,” kata teman.

“Eh ternyata gimana emang kalau dibandingkan dengan jaman Rasul?” tanya saya kemudian.

“Aku belum menemukan tentang kisah rasul yang mengajarkan tentang itu. Tapi di Surat Luqman, nasihat Luqman untuk anaknya pun menggunakan kata ‘jangan’ kan ya”, kata teman.

“Hooo iya juga ya. Menurutku pemakaian kata ‘jangan’ ini ngga saklek. Lebih baik dihindari, khususnya ke anak-anak. Soalnya ya itu tadi mesti udah ada kajian psikologinya. Jadi bukan karena saat ini ada himbauan untuk menghindari kata 'jangan' lalu dibandingkan ke Al Quran, ternyata di Al Quran ada pemakaian kata 'jangan' lalu himbauan itu ditentang, ngga gitu juga kan. Terus aku jadi kepikir, kenapa ada kata ‘jangan’ ini malah akan membuat manusia jadi punya pilihan. Jadi dengan adanya kata ‘jangan’ ini kemudian malah menguji. Punya pilihan, mana yang mau dilakukan. Yang kepikir sih :p” menurut kirologi saya (duh, kudu lebih banyak belajar >.<)

Pembahasan mengenai penggunaan kata ‘jangan’ -baik itu untuk mencegah seseorang melakukan sesuatu maupun memperingatkan seseorang yang bersalah- yang (menurut saya) harusnya sudah dikaji secara psikologi kemudian mengarah pada bagaimana pengaplikasian hasil penelitian psikologi itu sendiri, yang ternyata ada hal-hal yang tidak serta merta langsung begitu saja kita terapkan. Di lain sisi, perlunya to the point dengan menggunakan kata ‘jangan’ ialah sebagai fungsi penegasan, agar tidak terulang kembali kesalahan yang sama.

Dalam memperingatkan orang yang melakukan kesalahan, sebagaimana dicontohkan oleh Rasul, adalah lebih baik dilakukan dengan langsung menyampaikan kepada orang yang bersalah. Penyampaiannya dilakukan secara personal, face to face, dari hati ke hati. Mengapa begitu? karena ketika dikritik di hadapan umum orang tersebut cenderung tidak melihat point kesalahan yang diperbuat disebabkan oleh rasa malu ‘dijatuhkan’ di depan (banyak) orang lain, yang justru menjadi tidak efektif dan efisien. Ini berlaku untuk memberikan peringatan pada seseorang yang melakukan kesalahan.

Salah satu contoh simpelnya mungkin seperti ini. A mencuri uang milik B dikarenakan A tidak mempunyai cukup uang untuk membayar uang sekolah anaknya. Nasihat ‘dont say dont’ yang diberikan adalah ‘lebih baik kamu mencari uang dengan cara yang benar, seperti misalnya berjualan sepatu untuk mencukupi kebutuhan membayar sekolah’. Sedangkan nasihat to the point yang mengandung ketegasan ialah ‘janganlah kamu mencuri. Karena mencuri itu adalah perbuatan yang tidak mendatangkan keberkahan dan bisa membuatmu masuk penjara, dimana akibat buruknya kamu tak lagi bisa mencari uang untuk menyekolahkan anakmu.’

Kesimpulan dari pembahasan awal ini adalah; tidak melulu menasihati, memperingatkan dengan kalimat positif itu baik, karena ada nasihat yang memang harusnya dengan jelas mengungkapkan kesalahan apa yang dilakukan oleh seseorang. Jelas disampaikan kesalahannya apa, sehingga tahu benar bahwa sesuatu itu salah. Peringatan atau nasehatnya pun wajib disampaikan dengan cara yang baik dan benar, disampaikan langsung kepada orang yang bersalah, face to face, dari hati ke hati.

Lalu bagaimana pemakaian kata ‘jangan’ untuk anak-anak?

Pada penjelasan sebelum disampaikan bahwa penggunaan kata ‘jangan’ mengaburkan keabu-abuan, memberikan penekanan bahwa sesuatu itu adalah memang benar-benar salah. Menyampaikan pada anak-anak tentu perlu mengalami modifikasi sebagai penyesuaian pada tingkat pemahaman. Tentu bukan menghilangkan kata ‘jangan’ tetapi dengan adanya imbuhan penjelasan. Artikel menarik yang juga membahas tentang pemakaian kata ‘jangan’ pada anak-anak bisa dibaca pada link ini (http://www.penaaksi.com/2013/08/katakan-jangan-jada-muridmu.html?m=1). 

Kesimpulan menarik yang ada ada artikel tersebut; membuang kata 'jangan' justru menjadikan anak hanya dimanja oleh pilihan yang serba benar. Ia tidak memukul teman bukan karena mengerti bahwa memukul itu terlarang, tetapi karena lebih memilih berdamai. Ia tidak sombong bukan karena kesombongan itu dosa, melainkan hanya karena menganggap rendah hati itu lebih aman baginya. Dan, kelak, ia tidak berzina bukan karena takut dosa, tetapi karena menganggap bahwa menahan nafsu itu pilihan yang dianjurkan orang tuanya. Anak-anak hasil didikan tanpa “jangan” berisiko tidak punya “sense of syariah” dan keterikatan hukum. Mereka akan sangat tidak peduli melihat kemaksiyatan bertebaran karena dalam hatinya berkata “itu pilihan mereka, saya tidak demikian”. Mereka bungkam melihat penistaan agama karena otaknya berbunyi “mereka memang begitu, yang penting saya tidak melakukannya”.

Pertanyaan kemudian adalah tentang pemakaian kata ‘jangan’ ke anak-anak. Apa semua untuk menasehati atau memperingatkan dengan memakai kata ‘jangan’ bisa dipukul rata pada semua anak?

Saya pikir (lagi-lagi kirologi -.-) kata 'jangan' ini bisa mulai digunakan dengan perkiraan orangtua bahwa anak sudah bisa membedakan, menimbang-nimbang, terkait dengan kalimat setelah kata 'jangan' itu sendiri. Jadi si anak tahu betul mana yang salah, agar tidak mengulangi lalu harus melakukan apa untuk kemudian memperbaikinya.

Teman menambahkan mengenai pemakaian kata ‘jangan’ akan dituruti oleh sang anak jika disesuaikan dengan intonasi yang tepat. Misal orangtua mengatakan ‘jangan main disana, ada listrik’. Intonasi lembut pada kata ‘jangan’ dan kuat pada kata ‘disana’ akan membuat sang anak justru menangkap ‘main disana ada listrik’. Bahaya juga ya ternyata kalau salah intonasi mengakibatkan hal seperti ini hehe. Maksudnya kata ‘jangan’ perlu mendapat intonasi yang kuat. Dari sini diketahui bahwa intonasi juga memiliki peran sehingga kemudian anak dapat menangkap nasehat atau peringatan dari orangtua.

Pemakaian kata ‘jangan’ pada anak-anak, menurut hemat kata; menyampaikan sesuatu dengan kalimat positif itu baik. Namun, ketika menasehati atau memperingatkan kemudian tidak boleh menggunakan kata ‘jangan’ yang kurang tepat, karena kata ‘jangan’ justru mempertegas batasan tanpa abu-abu. Dimana pemakaian kata ‘jangan’ juga harus diiringi dengan penjelasan ke anak, tidak serta merta mengatakan ‘jangan masuk ruangan itu’, ‘jangan tidur terlalu malam’. Penggunaan intonasi yang tepat pada kata juga mempengaruhi pemahaman anak.

Beberapa hari lalu saya mendapat forward pesan dari teman mengenai pemakaian kata ‘jangan’. Pemakaian kata ‘jangan’ (ternyata) tidak jarang membuat orang berselisih paham, terutama bila diaplikasikan pada anak-anak. Berselisih baik mengenai asal muasal penerapan ‘dont say dont’ dan tingkatan umur kapan anak bisa dinasehati atau diperingatkan dengan memakai kata ‘jangan’. Menurut saya pesan berikut menjelaskan dengan sangat baik mengenai itu semua. Tanpa mengubah kata-kata yang terdapat dalam pesan, berikut saya cantumkan pembahasan tentang pemakian kata ‘jangan’. Selamat menikmati, memahami dan semoga bermanfaat. Eniwei, saya terkikik di poin 43 :p

Jangan ada keributan gara-Gara Kata “Jangan”
by : bendri jaisyurrahman (twitter : @ajobendri)

1.      Beberapa hari ini banyak yg tanya saya (lebih tepatnya ajak diskusi) seputar kata “jangan” dalam ilmu parenting dan Alquran
2.      Sebagian ada yg mengatakan kata “jangan” sebaiknya dihindarkan diganti kata anjuran. Ini ajaran parenting
3.      Sebagian yg lain justru mempertentangkan dgn berdalih bahwa alquran justru banyak memuat kata jangan. Apakah quran salah?
4.      Ujung-ujungnya saling melabel. Seolah-olah ilmu parenting yg menolak kata “jangan” dianggap tidak islami, pro yahudi, dsb.
5.      Nah, ini yg saya khawatirkan. Pertentangan yg berujung kepada labeling. Jangan-jangan ini disengaja. Eh kok pake kata “jangan”? :D
6.      Bukannya sok bijak. Sebab orang sok bijak sok bayak pajak hehe.. Tapi bersikap ekstrim meskipun baik tidak sesuai sunnah nabi.
7.      Hakikatnya, islam ini agama pertengahan (ad diinul wasath). Maka tindakan menyalahkan ilmu yg bersumber dari barat tanpa dicari akarnya juga tak tepat
8.       Seolah-olah kalau parenting itu dari barat jelas-jelas salah. Langsung tertolak. Padahal kita sering makan dari barat semisal rendang dari sumatera barat #eh :D
9.       Ilmu parenting pada dasarnya bagian dari ilmu “keduniawian” dimana rasul mengatakan “kalian lebih tau urusan dunia kalian”. Artinya silahkan inovasi1
10.  Tentu bukan berarti islam tak punya konsep dasar. Sama seperti ilmu kedokteran, parenting juga punya dasar ilmunya
11.  Tapi Islam tak menolak inovasi dalam bidang kedokteran sebab berprinsip “hukum asal muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yg melarang”
12.  Maka, inovasi dalam kedokteran semisal operasi jantung, kemotherapi, dan cesar itu boleh kecuali yg jelas ada larangannya.
13.  Sama juga dgn ilmu parenting. Muncul banyak inovasi yg tak semuanya kita tolak kecuali dgn dalil yg tegas.
14.  Mengenai kata “jangan” itu sendiri tak perlu kita cari dalih. Hal ini memang ada dalam alquran. So what?
15.  Tentu sesuatu yg berada dlm alquran tak boleh diragukan. Ini wilayah iman (QS 2:2)
16.  Namun, sesuatu yg ada dalam alquran tentu harus dilihat prakteknya dalam keseharian nabi. Sebab beliau sejatinya ‘penerjemah’ terbaik maksud dari alquran
17.  Jika hanya berdasarkan quran tanpa lihat praktek nabi, hati-hati bisa terkecoh. Bisa-bisa malah aneh.
18.  Sholat, contohnya. Dalam quran perintahnya hanya rukuk dan sujud (qs 48 : 29). Jika tanpa melihat rasul, maka kita akan anggap sesat orang yg iktidal atau duduk tahiyat
19.  Begitu juga penggunaan kata “jangan” dalam quran. Kita harus dudukkan dalam konteks ilmu parenting yg dicontohkan Rasul
20.  Itu artinya, mari kita tengok sejarah bagaimana sikap rasul kepada anak-anak? Dan kita akan dapati beberapa perlakuan yg “beda”
21.  Sesuatu yg dilarang kepada orang dewasa ternyata dimaklumi bahkan dibolehkan kepada anak-anak
22.  Jika orang dewasa dilarang main patung atau boneka, ternyata anak-anak boleh. Aisyah contohnya
23.  Jika orang dewasa dilarang ngobrol atau bercanda dalam sholat. Maka khusus anak-anak semisal husein, main di punggung rasul bahkan dibiarkan
24.  Bayangkan, kalau yg main di punggung itu Umar. Mungkin sudah rasul marahin
25.  Bahkan ada seorang anak yg pipis di baju rasul, dibiarkan. Tak dilarang. Kalau itu sahabat? Mungkin udah dikeroyok sama yg lain
26.  Karena itu, melihat penggunaan kata “jangan” dalam alquran tak boleh sembarangan. Ada patokan dan standarnya
27.  Untuk anak kecil yg belum baligh tentu beda perlakuannya dengan orang dewasa
28.  Bahkan sesama orang dewasa saja masih ada perlakuan yg beda. Contohnya orang badui yg pipis di masjid nabawi dibiarkan, tak dilarang
29.  Kenapa? Karena orang badui itu tak tahu alias bodoh. Inilah hebatnya rasul. Bersikap berdasarkan konteks kejadian
30.  Jadi ayat tak dikeluarkan serampangan. Indah betul Islam ini jadinya
31.  Karena itu, sebagai panduan penggunaan kata jangan ada beberapa pembahasan yg lumayan panjang. Salah satu yg mau saya bahas disini yakni konteks usia
32.  Minimal ada 3 konteks usia penggunaan kata jangan sesuai sikap nabi : utk anak yg belum berakal, untuk anak yg sudah berakal dan utk remaja atau dewasa
33.  Untuk remaja atau dewasa rasul tak ragu untuk memberikan kata jangan jika memang membahayakan agama orang ini. Biasanya terkait akidah dan akhlak. Disini quran lebih banyak utk mereka
34.  Sementara utk anak, rasul sikapnya beda.Rasul bedakan yg sudah berakal mana yg belum.
35.  Caranya sesuai petunjuk rasul dlm urusan perintah sholat yaitu “jika sudah bisa bedakan kanan dan kiri”. Itu artinya sudah diajak berpikir
36.  Nah, untuk anak tipe ini (bisa bedakan kanan dan kiri) kata larangan atau “jangan” dibolehkan.
37.  Tapi lebih elok jika ditambah solusinya agar mereka tau apa yg harus dilakukan. Ingat mereka minim pengalaman
38.  Hal ini dialami oleh Rafi’ bin Amr Al Ghifari yg punya hobi melempar kurma. Rasul melarangnya namun kasih solusi.
39.  Solusinya adalah kalau mau makan kurma, yg jatuh di tanah, tak perlu dilempar. Indah kan?
40.  Sementara untuk anak yg belum bisa berpikir, rasul tak melarang. Lebih banyak memberi tahu sikap yg tepat. Bahkan cenderung membiarkan
41.  Yang dibiarkan rasul juga biasanya terkait dgn hal-hal yg berkaitan dgn eksplorasi skill.
42.  Rasul bahkan memotivasi anak yg lagi main panah di mesjid dgn ucapan “teruslah memanah. Sesungguhnya kakek moyangmu ismail seorang pemanah”
43.  Kalau anak sekarang main panah di masjid? Udah jadi rempeyek dihujat jamaah hehe
44.  Makanya, yg kedua yg harus dipahami selain konteks objeknya juga konteks apa yg dilarang
45.  Jika untuk eksplorasi skill hindari kata jangan. Agar anak termotivasi kembangkan potensi. Tapi untuk eksplorasi spiritual dan emosi silahkan pakai “jangan” dgn penjelasan
46.  Contoh penjelasan dlm quran “jangan ikuti langkah syetan, syetan itu musuh nyata bagimu”
47.  Lebih elok jika larangan ada penjelasan. Tentu ini pas bagi anak yg sudah berpikir.
48.  Kesimpulannya, gak perlu bersikap ekstrim. Parenting meski dari barat bisa jadi adalah hikmah kaum muslimin yg tercecer
49.  So, buanglah sampah pada tempatnya ups..maksudnya pakailah kata jangan pada konteksnya.
50.  Sekarang, silahkan cicipi jangan nya (alias sayur) :D Salam - bendri jaisyurrahman-

Semoga bermanfaat bagi para (calon) ayah dan ibu :)

Selasa, 14 Januari 2014

Lewat bapak becak

Surabaya, 23 Oktober 2013.

Pukul tiga matahari melambung perlahan ke sisi barat, terik sinarnya di Surabaya tak lagi semenyengat siang tadi. Sore ini saya perlu membeli tiket kereta dengan jadwal pemberangkatan tercepat dengan tujuan Banyuwangi. Kata teman, mencapai Gubeng dari sekitar Jalan Pandegiling tidak sulit buat orang yang baru 3 hari menginjakkan kaki di Surabaya. Jadilah saya mantap saja menyusur gang Kampung Malang menuju jalan raya.

Sampai tepi jalan raya saya mampir ke warung kecil, membeli 2 bungkus bengbeng kemudian duduk di kursi kayu panjangnya, menunggu angkutan umum menuju Gubeng yang katanya akan banyak dijumpai di jalan ini. Tiga puluh menit menunggu tak satupun angkutan kota melintas. Saya bertanya pada mas penjual yang kemudian disarankan untuk naik becak. Melihat seorang bapak mengayuh becak muncul dari tikungan, saya lalu melambai-lambaikan tangan.

Sebentar kemudian saya sudah duduk manis asik mengamati ramai jalanan khas kota-kota besar. Di kanan kiri kendaraan melintas cepat, saya saja yang rasanya berlalu dalam slow motion di kursi becak si bapak. Kurang lebih setelah tiga puluh menit sesi mengamati jalan raya kemudian bapak becak mengurangi kecepatan kayuhannya, merapat ke trotoar.



“Sudah sampai, Mbak,” kata bapak becak.


“Cepet juga ya Pak saya kira lebih lama dari ini hehe. Ke loket tiketnya lewat mana ya, Pak?” tanya saya.

“Itu Mbak, pintu masuk yang di tengah,” kata bapak becak sambil menunjuk ke satu pintu masuk. “Ati-ati ya Mbak sama barangnya, suka banyak copet di dalem. Atau itu tasnya dicangklong di depan aja.”

“Oh gitu ya Pak, makasi banyak ya Pak. Oya Pak, ini saya kan saya cuma beli tiket aja sebentar nanti langsung mau pulang lagi ke Jalan Pandegiling. Boleh ngga Pak kalo ditunggu aja? Takutnya nanti ngga ada becak, saya ngga tau jalan pulang kalo naik angkutan umum hehe,” kata saya.

“Iya Mbak, kalo gitu saya tunggu di sini,” kata pak becak.

Saya mengeluarkan dua lembar uang sepuluh ribuan, menyerahkannya ke bapak becak kemudian masuk ke gedung stasiun Gubeng.

“Sebentar ya Pak,” kata saya lagi sambil berjalan menjauh.

Saya masuk ke satu ruangan besar dengan orang-orang berseliweran. Memandangi papan keberangkatan, mengamati satu persatu jadwal. Ternyata oh ternyata, jadwal paling cepat sebelum ini ada pada kereta ekonomi yang sudah berangkat jam dua siang tadi, sementara sekarang waktu menunjukkan pukul 15.30 wib. Mengamati lagi jadwal keberangkatan-kedatangan. Ada satu kereta bisnis menuju banyuwangi yang akan berangkat pukul 22.00 wib, satu satunya kereta pemberangkatan terakhir hari ini. Tak ada pilihan lain.

“Pak kalo mau beli tiket kereta bisnis dimana ya?” tanya saya ke pak satpam setelah celingak celinguk tidak melihat loket yang bertuliskan menjual tiket kereta bisnis.

“Kalau mau beli tiket bisnis dan eksekutif ke stasiun yang baru Mbak, muter mlipir jalan raya nanti sampe di depannya,” kata pak satpam sambil tangannya menunjukkan arah kemana saya harusnya membeli tiket.

“Jalan kaki bisa Pak?” tanya saya.

“Jalan kaki bisa Mbak, deket kok,” kata pak Satpam.

Kemudian saya keluar ruangan, menghampiri bapak becak yang sedang duduk bersantai di kursi becaknya.

“Pak, ternyata beli tiketnya harus ke stasiun baru, ngga bisa di sini. Saya ke stasiun baru dulu ya pak,” kata saya ke bapak becak.

“Ndak dianter aja Mbak?” kata bapak becak.

“Ngga usah saya jalan aja ngga papa Pak. Kata pak satpamnya deket, bapak di sini aja,” kata saya, bapak becak mengangguk angguk.

Lalu saya menyusur trotoar di tepi jalan raya. Sempat ragu di tikungan kemudian bertanya pada bapak polisi yang sedang jaga di posnya. Pak polisi juga bilang ‘jalan aja nyusurin trotoar Mbak, nanti sampe’ benarlah saya menyusur trotoar sampe depan gerbang. Deket sih memang, tapi ngga begitu deket hehe. Tadi pas pak satpam bilang deket, mimik wajah si bapak mengatakan seakan tinggal jalan sekuprit aja ^^a

Inilah Gubeng pukul 15.30 wib.

Sore pada kali pertama saya menginjakkan kaki di Stasiun Gubeng baru disambut dengan live music yang memainkan lagu ‘pergi untuk kembali’, lagu yang kalau di rumah gemar dinyanyikan oleh bapak. Dengan live music yang dimainkan andante begini rasanya orang jadi menikmati masa-masa antrian meski panjang mengular. Saya lihat ada ibu-ibu menggandeng anaknya bersegera melalui pintu pemeriksaan memasuki jalur kereta, barangkali beliau takut tertinggal jadwal pemberangkatan. Lalu ada sekelompok orang-orang dengan tas gunung duduk di pojokan, tampak sedang menunggu kereta yang akan membawa mereka berpetualang menuju lain tempat. Orang-orang yang duduk di kursi besi. Satu dua orang mengetuk-ngetukkan jari, ada juga yang menggerak gerakkan ujung sepatu mengikuti irama lagu. Tersenyum sendiri mengamati, suasana mendadak syahdu:’)

Stasiun, salah satu pemberhentian sejenak menuju lain tempat. Tempat berpisah, bertemu, tempat menunggu.

Berdiri di antrian yang mengular sambil browsing membaca apa yang bisa dibaca, mengamat-amati sekeliling. ‘Deg!’ Saya tiba-tiba teringat pada bapak becak. Melihat jam tak terasa ternyata sudah pukul 17.00, satu jam berlalu dalam antrian mengular sementara di depan masih ada beberapa orang lagi sebelum saya. Jadi tidak enak karena tadi meminta si bapak becak untuk menunggu, rasanya ini sudah terlalu lama. Terbersit was-was kalau ternyata bapak becak sudah tidak di sana, menjelang malam entah bagaimana nanti. ‘Semoga bapak becak masih parkir di tepi trotoar tadi’ pikir saya.

Pukul setengah enam barulah antrian panjang untuk mendapatkan tiket selesai, yang artinya dua jam membuat bapak becak menunggu. Sudah semakin sore, langit berubah warna kemerahan. Cepat-cepat saya berjalan menuju stasiun lama merasa tidak enak pada bapak becak, bersegera kembali menyusur trotoar di tepi jalan raya.

Benarlah, sesampainya di depan stasiun lama saya tidak melihat bapak becak tadi. ‘Mungkin si bapak sedang ke mana’. Saya memutuskan masuk ke salah satu toko yang menjual minuman, kemudian duduk di undakan di depannya sambil menunggu si bapak, melihat ke sekeliling menunggu si bapak becak muncul.

Bapak becak tidak juga muncul.

Jangan-jangan bapaknya menunggu terlalu lama, kemudian bosan lalu kembali ke jalan pandegiling tempat mangkalnya. Saya merasa tidak enak sekali pada bapak becak tadi. Sedang memang tadi tak ada waktu bagi saya kembali ke sini untuk meyakinkan si bapak becak agar jangan pergi dulu karena saya pasti akan balik lagi. Yang luput oleh saya ialah antrian mengular yang memakan waktu hingga satu jam setengah. Sebelumnya saya pikir akan cepat saja; datang, membeli tiket, segera kembali menemui bapak becak. 

Saya benar menjadi tidak enak hati bila bapak becak memutuskan kembali lebih dulu ke jalan pandegiling karena terlalu lama menunggu saya yang tak kunjung datang. Saya berharap yang terjadi ialah ada orang lain datang meminta jasa bapak, lalu bapak mengiyakan.

Siapa saya berhak meminta bapak untuk menunggu? Sedang saat itu ada orang lain yang lebih mendesak memerlukan jasa transportasi dan orang tersebut tentu menjadi jalan rejeki bagi bapak. Bapak mengiyakan pun karena alasan tak tahu pasti kapan saya akan datang. Bapak siap dengan jasa bapak, orang tersebut siap dengan harga yang harus dibayarkan.

Tidak semua berjalan seperti yang direncanakan, luput dari pertimbangan saya bahwa antrian memakan waktu hingga satu setengah jam. Tidak seharusnya saya meminta Bapak untuk menunggu. Maafkan saya, Pak.

Meyakinkan diri bahwa bapak tidak muncul, saya beranjak dari undakan melangkahkan kaki ke trotoar menuju ke bapak becak lain (yang ternyata ada) yang parkir di tepi trotoar. Pada bapak becak tersebut saya tanyakan alamat, tarif, kemudian setuju. Begitulah, saya kemudian kembali ke jalan pandegiling gang kampung malang bersama bapak becak yang ini.

Sekali lagi maaf ya, Pak.
---

Lewat bapak becak sore tadi, saya belajar satu hal;

Dalam urusan ini tidak ada yang meminta untuk menunggu
Bertemu bila memang diharuskan, tidak akan bila memang tak seharusnya
Kata orang bijak ‘Belajarlah dulu banyak-banyak, persiapkan saja baik-baik'
Setiap urusan ada pada ketentuannya; tidak pernah terlalu cepat maupun terlambat, hanya tepat saja

Semoga dengan ini tidak ada yang memenjarakan hati
Semoga dengan ini tidak ada yang mengucapkan apa-apa yang belum atau memang tidak seharusnya terucap
Semoga dengan ini tidak ada yang kemudian mengakhiri sebelum ada yang benar benar memulai

Everything has been written down, no need to worry. 
Dear you, see you when I see you ;)

Kamis, 09 Januari 2014

Fosil di benaman kapur.

Bagi saya, bila berpadu dengan hijau rerumputan maka tebing yang kecoklatan menjadi padanan yang menawan. Bila berbatas laut maka tebing menjadi pundak bagi ombak ombak yang menghempas tepian. Tebing bersama keduanya memanjakan mata. 

Begitu bagi saya, 
kemudian (kembali) diceritakan sejarah ini.

Puluhan juta tahun lalu pada masa daratan masih di awal (kiranya) pergerakannya, pada saat ketika tanah sumatra masih menyatu dengan tanah jawa, begitu kemudian dipanggil. Pergerakan lempeng yang memakan proses tahun demi tahun membuat daratan daratan bergerak berpisah sehingga kemudian terbentuk lima benua. 

Barat Indonesia merupakan bentukan dari dangkalan sunda. Gajah, harimau yang menyeberang dari bagian utara ke selatan, kemudian atas peristiwa lempeng yang bergeser membuat individu-individu yang terpisah secara geografis memiliki persamaan ciri dari individu individu di sebelah utara. Timur Indonesia sendiri merupakan bentukan dari dangkalan sahul. Tanahnya dihidupi oleh individu individu dengan karakter tersendiri, tak sama dengan daratan sebelah barat. 

Sekarang tempat berpijak, tapi bagaimana dulu?

Pagi pagi kami menuju tanah tertinggi pulau. Puncak Mundi, begitu orang lokal menyebut nama tenarnya. Katanya pulau ini terbentuk atas lempeng yang muncul ke atas yang keluar dari permukaan air. Seluruh bagian pulau berbahan dasar batuan kapur, karst. Pada banyak tempat bukit bukit berubah menjadi ceruk-ceruk bekas kegiatan penambangan kapur.


Puncak Mundi adalah titik tertinggi pada gundukan biru muda



Mencapai puncak memerlukan waktu 1,5 jam berkendara. Segera kami mencari bagian bekas galian, mencari fosil di sela padatan kapur. Mencari pembuktian bahwa puncak tertinggi pulau sudah pernah mendiami kehidupan di bawah permukaan air laut. Lihatlah apa yang ditemukan! Fosil-fosil yang membeku di padatan kapur.:)



Asik mengorek kapur mencari fosil, mengidentifikasi.




Mas Aan ikut sibuk mengorek padatan kapur

Masuk ke ceruk bekas galian, mengorek dinding dindingnya.




Puas mengutak atik bekas galian di puncak, kami kemudian turun. Tersusul hujan yang terbawa angin lalu memutuskan menepi ke bekas tambang kapur, yang dimanfaatkan si teman untuk kembali mengamati dinding dindingnya.





mejeng di gua bekas tambang kapur :p
Melihat melalui kacamata yang berbeda tebing tebing ini menjadi sumber kekayaan intelektual. Lewat kacamatamu, apa tebing tebing ini punya makna lain? ;)

--- 

Epilog, teruntuk Dian yang begitu penasaran kisah perkenalan Gatot dengan Udin. 

Hujan teramat deras. Sore itu tetes tetes besar tumpahan langit menyambut Gatot melangkah keluar dari boat cepat yang ditumpanginya. Sedikit ribet dengan barang bawaan di punggung, dia melangkah cepat sambil membuka pesan di hp. Membaca lagi pesan yang menunjukkan arah menuju tempatnya menginap. 

“ Jadi Tot kamu itu turun di dermaga. Jalan terus aja ngikutin jalan aspal sampe jalan utama. Nah jalan aja ke arah barat ntar bakal nemuin pasar. Ikutin aja pasarnya ke arah barat nanti di kiri jalan ada tukang las-lasan. Maju dikit lagi bakal ada jalan setapak, jalan ikutin jalan setapak itu agak kelok-kelok ntar diujungya nemuin rumah yang agak nangkring di atas. Menuju rumahnya naikin undakan batu. Pintu triplek di depan rumahnya ada tulisan ‘Udin tukang cukur’ ya Tot.”

Berbekal pesan itu ia menelusuri jalan aspal ditemani hujan lebat. Di sepanjang jalan saat bingung hendak kemana dia bertanya dimana ya rumahnya ‘Udin tukang cukur?’. Lalu entah bagaimana cara akhirnya ia berhasil menemukan rumah yang dimaksud. 

Di situlah ia bertemu Udin.

Sejenak mereka saling bertatapan. Tiba-tiba Gatot merasa bahwa laki-laki di depannya tak semenggembirakan sebagaimana telah diceritakan. Gatut melihat pisau cukur berkilat digenggamannya. Wajah Udin mengatakan “Oh ini saingan si neng geulis yang mau minta foto urang pake kacamata?!” Terbersit kegentaran tapi kemudian Gatot bergerak mendekat meski tak sampai dua kaki, menjaga jarak. Melinting hem ke lengan atasnya kemudian dia menampakkan ototnya “mau apa maneh, hah!” (cem cem artis l-men).
*diceritakan kembali menurut yang dituturkan Gatot pada satu grup wasap*

Begitu ceritanya Din, bagaimana Gatot bertemu dengan Udin . Kemudian ini dia ada titipan foto :p