Minggu, 03 April 2016

Nusa Berdaya.

Sejatinya blog ini dibuat atas saran sahabat, Silvia Rahmy, karena dia melihat betapa saya terperangkap pada kebahagiaan masa lalu *tsaah* Masi inget ya sil malam – malam kita di lab, kamu bekerja dengan cawan petri lalu aku sibuk melihat – lihat, menggumam, menceritakan (hingga kamu mungkin bosan) bagaimana aku menghabiskan waktu 4 bulan di Toyapakeh, salah satu kampung pesisir yang ada di Pulau Nusa Penida; a memorably  memento.

Tidak terasa sudah 4 tahun berlalu sejak kali pertama menginjakkan kaki di Toyapakeh. Sejak itu juga merasa diri ini menjadi terlalu obsesif kompulsif dengan Nusa Penida hihi. Dan detik ini, ketika saya dalam proses menguraikan kenangan lain yang tertaut dengan desa itu, hati saya masih saja berdebar tak seperti biasanya *ahlebay*

Empat taun lalu bareng adik adik di Toyapakeh :')

Penelitian terkait pemijahan terumbu karang di Perairan Toyapakeh, Nusa Penida, mengantarkan saya pada kelulusan sarjana pada April 2013. Tertarik dengan dunia kelautan, kemudian saya memutuskan bekerja pada salah satu LSM (NGO) di Bali, yang memiliki fokus terhadap kegiatan konservasi terumbu karang. Di sinilah saya kemudian mengenal selain metode ilmiah untuk pengambilan data, juga softskill bekerja dengan masyarakat, bagaimana membangun kerjasama dengan stakeholder  di wilayah pesisir dan laut – pihak universitas, peneliti, perangkat pemerintahan, pemilik hotel dan resort, nelayan. Atas pengamatan selama bekerja, saya dihadapkan pada fakta bahwa sisi ekonomi dan pendidikan masih menjadi tantangan utama dalam pengelolaan pesisir dan laut secara berkelanjutan.

Pemijahan Acropora sp
Pada kesempatan – kesempatan bertemu dengan kelompok masyarakat untuk melaksanakan program, tak jarang saya merasa terpentok dengan permasalahan pendanaan. Berbagi cerita dengan teman yang juga bekerja di bidang yang sama, tantangannya tidak jauh berbeda. Ngga bisa begini karena ngga cukup dana. Ngga bisa segera melakukan itu karena ngga ada duit. Ngga bisa jalan, masyarakatnya kurang greget karena kegiatan yang dilakukan bukan kegiatan yang menghasilkan profit, kemudian program mandeg. Bubar jalan. Sedih :(

Saya menyadari bahwa kegiatan pelestarian lingkungan, dalam wujud apapun itu, perlu sekali dilakukan. Tapi kalau sedang kesel keselnya dengan realita yang ada saya suka menggerutu sendiri ‘ya gimana orang mau mikirin ngejaga lingkungannya untuk tetap lestari sedangkan bagi si orang itu untuk melangsungkan hidupnya masih kesulitan, untuk sekedar makan sehari hari saja masih kalang kabut. Perut keroncongan dijejelin ini itu. Mau coba ngomongin tentang konservasi saja masyarakat jadi malah (ada yang) antipati huft.’

Satu hal yang terpikir, yang kemudian menurut saya urgent untuk dimasukkan pada daftar hal - hal yang kudu dilakukan dalam hidup; harus mengelola bisnis yang dijalankan bersama masyarakat, dimana bisnis tersebut dikorelasikan dengan kegiatan pendidikan. 

Setelah 1 tahun 10 bulan bekerja, April 2015 lalu saya resign. Alasan prioritas saya mengundurkan diri utamanya adalah untuk persiapan melanjutkan studi di akhir tahun 2016 ini. Tapi ternyata, bersamaan dengan persiapan melanjutkan studi, hidup membawakan saya kesempatan untuk membangun bisnis yang dikelola bersama masyarakat.

Inisiatif ini berawal dari pertanyaan yang diajukan seorang teman, Kadek Agus Wardana, tentang pemanfaatan rumput laut di daerah asalnya yang kurang optimal. Kadek Agus adalah pemuda asal Desa Suana, salah satu desa penghasil rumput laut terbesar yang terletak di pesisir timur Pulau Nusa Penida. Agus menyampaikan bahwa penjualan rumput laut sejauh ini masih berupa raw material. Rumput laut setelah dipanen kemudian dijemur, setelah mencapai fase kering kawat lalu dijual kepada pengepul.

Selain Kadek Agus, ada Muhammad Andriza Syarifudin. Kami bertiga sebenernya sih semacam reuni kecil dari kegiatan volunteer yang pernah kami ikuti pada akhir tahun 2013 hehe. Saat itu ada kegiatan pembuatan perpustakaan di Desa Batukandik, di Pulau Nusa Penida. Sempat ngobrol – ngobrol bertiga sebelumnya, tentang rumput laut dan sebagainya makanya jadi nyambung.

Tim Inti Nusa Berdaya  *gayabocah*
Kegiatan volunteer di Desa Batukandik sebelum kami membentuk tim 
Singkat cerita, berbekal tekad kami membangun tim yang diberi nama Nusa Berdaya. Dengan latar belakang senada, kami sepakat mengembangkan Nusa Berdaya dengan konsep social business, dimana kami bekerja bersama para orangtua untuk membantu pemenuhan kebutuhan secara ekonomi serta melakukan kegiatan bersama anak – anak dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan. Kami mengadakan beberapa rapat kecil membahas tentang visi dan misi, juga memformulasikan action pertama kami. 

Atas beberapa coba – coba yang kami lakukan; jual beli kerapu hingga rencana membuat keramba, bekerjasama untuk membuat fillet tuna dan baramundi, pengolahan rumput laut menjadi permen jelly dan dodol; kami anggap belum dapat diwujudkan saat ini karena berbagai pertimbangan. Sempat pusing juga menentukan bisnis apa yang pas untuk memulai. Kami kemudian mencoba lebih memperhatikan kepada apa yang masing – masing dari kami miliki, jaringan, ilmu, softskill, dan sebagainya, melihat kebutuhan serta ketersediaan pasar. 

Dari proses kontemplasi singkat dan beberapa pertimbangan, sebagai aksi pertama bersama di Nusa Berdaya kami memproduksi nusapenida natural soap, yakni sabun alami dari bahan – bahan yang tersedia di sekitar pulau. Kami mentargetkan produk tersebut menjadi souvenir khas dari Nusa Penida. Produk ini menjadi motor untuk membangun mimpi kami bersama dalam mewujudkan masyarakat pesisir yang sejahtera, mandiri dan memiliki daya saing. Masyarakat yang dapat mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, mampu melaksanakan kegiatan pengolahan produk dari hulu ke hilir.

Nusa Penida Natural Tropical Soap
Dalam membangun social business ini kami bekerjasama dengan beberapa kelompok masyarakat. Untuk mensuplai raw material, kami bekerjasama dengan beberapa petani dari berbagai desa di pulau. Bahan dasar yang kami dapatkan dari para petani diantaranya rumput laut, kelapa, kunyit, dan lidah buaya. Sedangkan untuk kegiatan pengolahan sabun kami bekerjasama dengan ibu – ibu pkk di Desa Toyapakeh. Selain akses pasar terbesar memang melalui Toyapakeh, saya pribadi sudah memiliki emotional relationship yang cukup baik dengan masyarakat untuk memulai kegiatan di desa tersebut.

Supply rumput laut dari petani di Desa Suana
Mek Guna yang mensuplai kunyit

Pelatihan pembuatan sabun alami bersama ibu ibu pkk Desa Toyapakeh
Tidak mudah (ternyata) hehehe. Proses ‘membuka jalan’ yang tentu menjadi tantangan utama untuk membangun bisnis. Galau, gundah, gulana, semangat naik – turun, berusaha untuk tetap naik naik naik mendaki. Hingga satu titik penting yang memberikan kemajuan bagi kami, yakni saat ikut serta mengisi booth pada acara Festival Nusa Penida. Saat melakukan tes pasar di acara tersebut kami bertemu dengan wisatawan asal Australia, Samantha, yang menyatakan ketertarikannya terhadap produk kami. Samantha kemudian memperkenalkan kami dengan beberapa bule yang tinggal di pulau. Alhamdulillah, setelah itu perlahan jalan mulai terbuka, pasar menjadi lebih nyata untuk kami raih.

Inilah kami. Masih dalam perjuangan untuk mendaki. Bedanya dengan enam bulan lalu adalah, kami bersyukur saat ini memiliki tim yang sudah jauh lebih lengkap dan berbahagia. Tiap harinya meski selalu saja ada yang comel ini itu, kelupaan ini itu, luput ini itu, meski dengan kesel keselan yang ada hihi tapi semoga seluruh anggota tim selalu kompak semangat untuk terus maju, tumbuh, dan berkambang, Nusa Berdaya dan ibu – ibu pkk :’)

Almost full team 
Dalam  enam bulan keberjalanan, tim didukung oleh berbagai pihak. Dukungan utama, terbesar adalah dari Allah SWT. Selalu saja, selaluu ada yang namanya kebetulan kebenaran di tiap - tiap hal yang dijalani. Kemudian bagi saya pribadi, dukungan datang dari dari bapak dan ibu yang memberi izin atas pilihan ini. Bagi tim, dukungan utama datang dari Yayasan Dompet Dhuafa, yang telah mempercayakan kami untuk mengelola dana hibah dari Grant Making Program 2015, memberikan training sebagai tenaga pendamping serta dukungan lain yang membantu perkembangan Nusa Berdaya. Dukungan dari Pak Perbekel (Lurah) Desa Toyapakeh, ibu – ibu pkk khususnya serta masyarakat desa pada umumnya. Seneng aja saya kalau di jalan disapa lalu ditanya tentang perkembangan pembuatan sabun hihi. Kami juga sangat bersyukur atas dukungan yang diberikan oleh Pak Mike Appleton, Altaire Cambata, Jacquie Scull, serta Liza Rae Dawn. Banyak ide – ide baru yang terbangun dari obrolan – obrolan bersama mereka. Seperti ide melaksanakan workshop pembuatan sabun bersama dengan wisatawan di Penida Collada, warung makan ala bule milik Liza. Atau distribusi produk di beberapa tempat di pulau, salah satunya ialah ke The Gallery Nusa Penida milik Pak Mike. Beliau adalah orang pertama yang menghubungi kami, meminta produk kami mengisi gallerynya. Pak Mike selalu berkata bahwa dia menjual produk kami dengan trust, kepercayaan. Ya Allah, saya jadi suka terharuu sudah diatur sedemikian rupa dipertemukan dengan orang orang ini :’)

Kunjungan wisatawan ke Rumah Produksi
Workshop di Penida Collada
Saya membantu menterjemahkan  penjelasan ibu ibu pkk pada peserta

Nusa Penida Soap di Gallery Pak Mike

Bermacam sudah cerita dalam proses perkembangan Nusa Berdaya yang masih seumur jagung ini dan saya menantikan kejutan – kejutan lain kedepannya :’) kalau mau dituliskan dalam satu artikel akan terlalu panjaang. Maka sekian dulu saja tulisan tentang Nusa Berdaya, semogaa saya dihindarkan dari rasa malas untuk menyambung tulisan ini hehe 

Anyway, silakan berkunjung ke Rumah Produksi kami di Desa Toyapakeh – Nusa Penida. Jangan sungkan mampir yaa kalau sedang dolan ke Bali atau berada di sekitar Nusa Penida! :)




Rabb, 
bila ini dapat memberikan sebesar – besar manfaat
mohon Engkau selalu bukakan jalan
dan teguhkan

I am following the omens.