Rabu, 26 Maret 2014

Lingkaran-lingkaran kecil

Lepas magrib.

Saya mematikan mesin motor, menatap sejenak ke sekeliling. Melongokkan kepala ke dalam pagar masjid, ada beberapa bapak-bapak sedang duduk melingkar. ‘Wah rame sekali, coba tanya ke orang lain sajalah’ pikir saya. Baru saja akan menyalakan mesin motor, kemudian anak kecil memanggil. 

“Mbaak mbaak mau sholat di masjid ya?” 

Saya menoleh. Anak perempuan dengan kerudung putih mengayuh sepedanya keluar melewati batas pagar masjid menuju saya. 

“Eh, enggak. Adek tau rumahnya Bu Nanik?” tanya saya.

“Emm Bu Nanik ya? Tunggu saya tanya dulu ya,” sahut adek itu.

Kemudian segera mengayuh lagi sepeda kecilnya masuk ke halaman masjid. Si adik menuju kerumunan bapak-bapak tadi, menunjuk-nunjuk bertanya. Kemudian segera menaiki sepedanya lagi, beralih menuju saya. 

“Tunggu Mbak ya, bapaknya ngga tau ternyata. Sebentar ya. Bu, Bu, tau rumahnya Bu Nanik ngga?” tanya si adik tadi pada ibu-ibu yang baru saja merapatkan motor di pagar masjid.

“Ini Bu, Bu Nanik guru ngaji yang ngajar di Mardhatillah,” tambah saya pada ibu yang baru datang.

“Oh Bu Nanik. Ini Mbak tinggal lurus aja, nanti ketemu pertigaan di kiri pojok jalan ada rumah ada pagernya warna hijau. Mbaknya belok kiri, lurus aja sedikit nanti di kiri jalan dah ketemu rumah Bu Nanik,” jawab ibu tadi sambil tersenyum ramah. 

“Oh pertigaan itu ya Bu? Berarti langsung belok kiri setelah itu ya?” tanya saya meyakinkan sekali lagi.

“Iya betul mbak,” jawab ibunya.

“Oh ya Bu, makasi banyak bu ya.”

“Ayo Mbak, gampang kok jalannya tinggal itu aja kan, aku tau,” sahut si adek tadi nyaring.

“Eh tunggu bentar aku nyalain motor dulu,” kata saya.

Adik ini, ramah sekali.

Saya menyalakan mesin, memutar balikkan motor menuju arah yang ditunjukkan oleh ibu tadi. Berusaha menyusul si adek yang mengayuh pedal sepedanya cepat-cepat. Mensejajarkan motor dengan sepeda, membersamainya. 

“Adek namanya siapa?” tanya saya.

“Amel. Amelia Mbak,” jawabnya. Sambil tetap khusyuk memandang pertigaan jalan di depan. 

“Mbak itu tuh, rumahnya Bu Nanik kayanya yang di sana,” kata Amel, makin ngebut menggenjot pedal sepedanya.

“Ameel, bukannya belok kiri sini ya?” tanya saya setengah teriak, Amel sudah melaju lebih duludi depan. “Mel, tunggu Mel kita tanya aja ya.”

Benar saja, kami kebablasan. Saya memberi tatapan ‘tuh kan Mel’ yang dibalas oleh Amel dengan senyuman yang menampakkan sederetan gigi putihnya. Kami berbalik, di pertigaan belok kanan. Beberapa meter di kiri jalan Amel berseru,”Mbak ini ada ibu yang ngajar ngaji ini. Bu Nanik ya? Bu ini dicari sama temennya.”

Ternyata Amel juga belum kenal Bu Nanik teman teman ^^a

“Udah ya Mbak, Amel balik lagi,” kata Amel langsung mengayuh sepedanya ke pertigaan jalan. 

“Makasi banyak ya Mel. Amel ngga ikut mampir mel?” tanya saya dan Amelnya sudah mendekati belokan pertigaan jalan, melambaikan tangan mungilnya sambil meringis. 

Namanya Amelia. Saya baru beberapa jam mengenalnya; ramah, hangat, ceria khas anak-anak. Sampai ketemu lagi ya, Mel.

--- 

Mbak Nanik. 

Begitu saya memanggilnya. Wanita yang baru saya kenal kurang lebih 2 bulan lalu. Pada pertemuan pertama, saya kemudian ‘jatuh cinta’ pada kalimat-kalimat penutup agenda sore itu. Kalimat yang diucapkan beliau dengan wajah rindu, yang mendorong saya malam ini berkunjung kemari, ke rumahnya.

Lepas magrib sore ini. 

Lepas magrib saya kali ini disambut oleh senyum manis empat anak perempuan; Putri, Anis, Olive, dan Sabrina. Yang paling kecil adalah Anis, kelas 1 SD kemudian yang paling besar adalah Sabrina kelas 5 SD. Ini dia beberapa dari murid-murid jagoannya Mbak Nanik, karena kalau lagi rame bisa 15 orang jumlahnya hehe. 

Mbak Nanik dan empat muridnya
Lepas magrib setiap hari Senin, Selasa, dan Rabu, Mbak Nanik membuka rumahnya untuk anak-anak yang mau belajar ngaji. Sampai menjelang waktu shalat isya satu persatu anak-anak dicek ngajinya oleh Mbak Nanik, setelah itu hafalan surat secara pribadi. Anis tadi saya lihat merebahkan badan kemudian menyilangkan kaki, mulai menghafal. Yang lain ada yang merepet ke pilar bangunan, mulai menghafal per ayat. 


Saya memperhatikan bagaimana Mbak Nanik mengajar. Bermain tebak-tebakan ayat dari salah satu surat, tebak-tebakan doa sehari-hari, entah itu doa memakai pakaian, bercermin, masuk masjid, dll. Bagaimana nada yang digunkaan ketika memperingatkan adik-adik ini ‘Ayo itu kalau makan tangannya pakai tangan kanan ya anak sholeh’ atau misal pas ada diantara mereka berebut sesuatu atau ada yang sedang jahil ‘ Ayo ayo, Allah tau siapa yang bohong, Allah tau juga siapa yang jujur’. 

Memperhatikan, tersenyum. 

Shabrina dan Mbak Nanik

Saya beri tahu sesuatu
Adik-adik ini, kecil-kecil cabe rawit. 
Tiga dari empat adik-adik ini, sudah mengkhatamkan juz 30. 

Apa yang terbayang?
Tentu tidak lain dan tidak bukan,
Adalah apa yang dijanjikan,
pada orangtua yang anak-anaknya menghafal kitabullah; mahkota dari cahaya.
---

“Saya ngajar ngaji di rumah ren, tiap senin, selasa, rabu habis magrib. Ngajar ngaji anak-anak tetangga, kebanyakan orangtuanya sibuk terus dititipkan buat ngaji. Saya luangkan waktu. Lumayan kan buat tabungan, bagi ilmu. Nanti kali-kali di akhirat anak-anak itu ditanya sama Allah ‘siapa yang ngajar ngaji’ terus dijawab saya yang ngajarin. Lumayan kan, keren di depan Allah.” 

Begitu ucap Mbak Nanik dua bulan lalu sambil tersenyum, yang tampak seperti membayangkan. Klaimat yang asalnya dari hati dan memang benar-benar sampai ke hati. Mulai sejak itu benar-benar saya kemudian tuliskan, menjadi salah satu mimpi; saya mau jadi guru ngaji. 

Minggu, 16 Maret 2014

Candu.

“Mendapatkan saja sulit, menjaganya jauh lebih sulit.” –Mbak Kiky sore tadi.

Rasa nyaman tidak datang begitu saja, dia perlu diusahakan. Menurut saya, pun menurut kebanyakan orang, agaknya rasa nyaman, rasa tenang dalam hati tak dapat ditukar dengan apapun. Bila hati dalam kondisi yang nyaman, rasanya energi positif mengaliri tiap-tiap ruas tubuh, optimisme meningkat drastis. 

Seperti sore tadi, saat nyaman bertandang kembali.

Beberapa bulan terakhir, rindu seperti ini terasa sedikit berbeda dari rindu pada tahun-tahun sebelumnya. Berada pada lingkungan dimana muslim menjadi minoritas, menjadikan saya sangat merindukan momen momen melingkar. Bertemu dengan teman-teman yang bersama menumbuhkan dan menjaga, saling menguatkan. Rasanya hanya ingin selalu berada dekat-dekat dengan mereka :’)

Menjaga jauh lebih sulit. Menjaga katanya bukan hanya sekedar, bukan pekerjaan sambil lalu yang penting intinya begitu. Dan melingkar seperti ini menjadi salah satu bentuk penjagaan paling baik yang bisa dirasakan; mengingatkan, berbagi satu sama lain. 

"Memang tidak bisa sendiri-sendiri, harus bersama biar bareng-bareng menguatkan," kata si Mbak.

Luruskan niat, perbaiki setiap saat.
Bertemu dengan mereka rasanya menjadi candu.
Rabb, buat aku selalu dekat-dekat dengan teman-teman seperti mereka ini. 
---

Susunan kalimat milik teman yang kemudian bergaung :')

Dan jika semua kelak telah menjadi masa lalu
Aku ingin kita tengah berada di atas dipan-dipan beralaskan emas permata dan berbantalkan sutera
Bersandar di atasnya dan berhadap-hadapan
Kemudian kita saling bercerita
Tentang apa yang telah kita kerjakan di masa lalu
Yang akhirnya menyebabkan kita dijamu
Di surga-Nya yang tak ada akhirnya. Aamiin.