Sore
itu, setelah perayaan Maulud Nabi kami berjalan ke dermaga. Menikmati hangatnya
hembusan angin laut sambil jeprat jepret pose sana sini. Samar samar saya
dengar ada yang berseru,
” Heeeee, Reeen aku
melu difotoo kenee!”
Saya
menoleh. Mengalihkan pandangan dari objek, mencari sumber suara. Ternyata itu
Bik Surti. Bik Surti yang mengayuh pedal sepeda kepayahan agar segera sampai di
ujung dermaga, tidak mau ketinggalan sesi foto-foto tampaknya. Ada yang
melongok-longok dari balik badan Bik Surti, ah, itu dia Ijul. Terlihat Ijul
melingkarkan lengan mungilnya erat-erat di perut mamaknya, menahan agar tidak
oleng lalu jatuh terhempas ke aspal keras yang melapisi dermaga.
Wanita
berbaju kuning ini Bik Surti, orang jawa yang tinggal di Nusa Penida. Sedang
anak kecil yang jatuh terjengkang adalah Ijul, anak semata wayang Bik Surti. Di
kanan itu Mas Danik, putra pertama Makdah. Itu di sisi kiri adalah Ustica,
kawan baik saya yang berkunjung ke Toyapakeh, tertawa kecil sambil mungkin iba,
atau malah sedikit kesal ya pada Ijul hehe.
Ica, Bik Surti, Ijul, dan Mas Danik
Sore itu kami buatkan Izah burung kertas. Burung kertas warna hijau yang
dikaitkan ke lidi menggunakan seutas benang. Senang wajah Izah menerima burung
kertas itu. Sesampai di dermaga, dibantu angin Izah menerbang-nerbangkan mainan
itu. Baru berapa kali ayunan, tapi tiba-tiba, hap! Burung kertas ditangkap
Ijul. Diremasnya kertas warna hijau mainan baru Izah. Meledaklah tangis Izah. Ijul
mau dijewer tapi dia mengelak, jatuh terjengkang. Terjadilah sesi tarik menarik
Ijul dan Bik Surti. Eh si Ijul malah kesenangan ditarik-tarik, lihat saja itu
senyum yang tampak di wajahnya -.-
Ijul glesoran di aspal dermaga, merajuk
Bik
Surti dan Ijul, dari mereka saya banyak belajar bersyukur. Bersyukur atas apa
yang ada pada saya sekarang. Pagi-pagi benar, sesaat setelah subuh dari luar
jendela rumah Makdah kerap saya dengar Bik Surti berbicara dengan Ijul seraya
berjalan cepat menuju pantai. Pagi-pagi seperti itu Bik Surti biasa ngobes, pekerjaan mengangkat
barang-barang dari perahu ke pasar maupun sebaliknya, kemudian dibayar tak
seberapa oleh si empunya barang, biasanya Rp 1.000,00 untuk sekali angkut. Demi
sesuap nasi. Sementara itu Ijul, selalu setia menguntit di belakang sambil gondelan baju mamaknya.
Sudah beberapa tahun yang lalu Bik Surti ditinggal oleh suaminya, maka ia membesarkan Ijul seorang diri. Ijul, anak hiperaktif yang tak jarang membuat para guru dan teman sebaya kewalahan menghadapi sikap-sikapnya. Atas beberapa pertimbangan, Bik Surti akhirnya memutuskan untuk menarik Ijul dari sekolah, memilih untuk membawanya kemana dia pergi, termasuk saat ngobes. Pernah saya lihat Ijul ikut menunggui mamaknya membantu menyetrika baju di rumah orang. Begitulah, dimana ada Bik Surti selalu ada Ijul.
Pagi
atau siang hari saat saya ngecek karang
dan kebetulan bertemu Bik Surti, beliau selalu menyapa dengan logat jawa
timurnya yang khas,
“ Kerep banget ndelok
kerang, gak bosen-bosen a. Gak wedi a enek iwak gedhi-gedhi nduk?”
“ Nggih pripun malih
Bik, Bismillah mawon. Nggo Bik, purun mboten tumut renang sareng kula? hehehe,”
sahut saya.
“ Ah wegah, gak wani
aku,” jawab Bik Surti.
Bertemu
di tepi pantai, di gang-gang, Bik Surti selalu menyapa. Tak lupa diikuti longokan
kepala Ijul dari balik badan mamaknya, yang lalu menjulurkan lidahnya pada saya.
Saya balas dengan kedipan mata, atau balik menjulurkan lidah padanya. Kadang
saya suka tersenyum sendiri kalau melihat atau mendengar Bik Surti serta Ijul melintas
di depan rumah Makdah. Percakapan entah apapun itu, sekilas terdengar seperti
ibu yang sedang memarahi anaknya, tapi dari kalimat tersebut bisa saya rasakan sarat
oleh kasih sayang.
Ah,
Ijul, Bik Surti.
Bibik
dan Ijul menambah perbendaharaan saya mengenai kisah antara ibu dan anak. Ibu, bagaimanapun
kapanpun selalu mengusahakan yang terbaik bagi anaknya. Semoga Bik Surti dan
Ijul sehat-sehat selalu :)
.....
Saya
jadi ingat, kali pertama saya bertemu Bik Surti dan Ijul. Waktu itu saya baru selesai
shalat dhuhur. Saya baru saja mau mengenakan sandal, Bik Surti memanggil dari
pagar Masjid.
“ E mbak, mahasiswa
seko jowo yo?,” mengingat bahwa warga Toyapakeh mengenal satu sama lain dengan
baik, jadi wajah baru saya ini mungkin dengan mudahnya dikenali ya Bik hehe (E
mbak, mahasiswa dari jawa ya?)
“ Nggih Bu, dos
pundi?” saya menjawab, sedikit kaget. (Iya bu, bagaimana?)
“ Ayo mampir a neng
omahku, maem a ning omah,” ajak Bik Surti (Ayo mampir ke rumahku, makan di
rumah)
“ ... Sekedap nggih
Bu, dereng budhal wau saking pantai,” bingung menjawab ajakan Bibik
“ Nengdi tinggal e?”tanya
Bik Surti. (Dimana tinggal?)
“ Wonten dalemipun Makdah
Bu, Pak Helmi,” jawab saya. (Di rumah Makdah Bu, Pak Helmi)
“ O, ning Bu Mudah
yo. Yowes, engko dolan a ning omah yo,” kata Bik Surti.
(O, di Bu Mudah ya. Yasudah, nanti main
ya ke rumah)
Belum
saya jawab Bibik sudah pergi. Ijul sudah narik-narik
baju Bik Surti ingin segera pulang ke rumah. Terus mata saya sudah mbrambang pingin nangis, trenyuh.
Baru dua hari menginjakkan kaki di Toyapakeh, sudah ada yang seramah ini yang
bahkan baru bertemu mempersilakan saya makan di rumahnya.
Rabb, sungguh Kau telah
bermurah hati. Telah Kau atur, saya memang benar-benar tak pernah sendiri.
Ijul yang masih merajuk
Itu
dia Bik Surti, salah satu dari sekian wajah ramah penduduk Toyapakeh. Dan Ijul, anaknya yang
suka menjulurkan lidah pada saya kalau pas
ketemu hehe :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar