Sore ini untuk kali kedua Mbok
Tik menurunkan ilmu per-kue-annya pada saya, ilmu membuat kue lumpur kali ini. Segera
saja setelah semua alat dan bahan tersedia, pukul jam 16.30 WITA kami mulai sok
menyibukkan diri di dapur. Masukan bahan ini itu, aduk memakai mixer dengan
kecepatan 1 lalu 2 lalu 3. Angkat mixer. Masukan putih telur. Aduk lagi
menggunakan mixer. Larutkan vanili Bla..bla..blaa hingga adonan sudah tercampur
sempurna dan kami tinggal menunggunya hingga mengembang sebelum dituangkan ke
atas teflon cetakan yang diletakkan di atas kompor berapi. Waktu menunjukkan
pukul 18.20 WITA. Masih sempat siap-siap untuk sholat magrib di masjid.
“ Mbok Tik, kalo mulai nyetak adonannya habis magrib ndak papa Mbok?” tanya saya.
“ Ini emang nunggu ngembang dulu Ren, baru habis ngembang nanti dituang ke teflon cetakan,” jawab Mbok Tik.
“ Oh gitu ya. Yaudah Mbok, aku ke masjid dulu ya tak ikut magriban bareng anak-anak. Ntar aku ke sini lagi ya mbok
habis magrib. Tunggu aku dateng baru nuangin
adonannya ke teflon ,ya..ya..ya,” sahut saya ke Mbok Tik sambil mringis mringis.
“ Iya dah, tapi jangan lama-lama yo
nanti kalo kelamaan jadi jelek adonannya,” kata Mbok Tik lagi.
“ Okeee bos!” jawab saya. Dan segera saya turun dari komplek
bukit itu menuju ke masjid.
Masjid di Toyapakeh mulai
menjelang sholat ashar selalu ramai anak-anak. Sore hari setelah sholat ashar adalah
jadwal mengaji kelas 1, 2, dan 3.
Sedangkan malam hari setelah sholat magrib jadwal mengaji kelas 5 dan 6. Maka
di peralihan warna langit terang menuju gelap ini anak-anak (mayoritas anak TK
dan SD) sudah bertebaran di tiap jengkal masjid. Mengedarkan pandangan ke
sekeliling sejenak sebelum adzan saya lihat ada yang sedang berwudlu, satu dua
ada yang berdiskusi entah apa, ada yang sudah mengenakan mukena, ada yang duduk
di tangga masjid sambil menatap langit, ada yang ngobrol-ngobrol dengan Pak
Haji Syahran.
Zilla, anak kelas 4 SD berlari
kecil menghampiri saya.
“ Mbak Reni, Mbak Reni sholatnya
di sebelahku ya,” katanya sambil meringis, memperlihatkan sederetan gigi
putihnya.
Belum saya menjawab Zilla sudah
mengambil sajadah dari tangan saya, digelar di samping sajadahnya. Sejenak kemudian
adzan berkumandang. Segera anak-anak berhenti dari kesibukan masing-masing,
menuju barisan sholat, merapihkan letak sajadah
mereka, lalu berbaris membentuk satu shaf lurus. Kami mendirikan sholat magrib
berjamaah. Selesai sholat, saya cipika
cipiki pipi anak-anak ini. Terlintas ide yang kontan terlontar,
“ Eh eh besok pada mandi laut ngga ini?” tanya saya ke anak-anak.
Mandi laut itu istilah anak-anak di sana yang digunakan kalau mereka berendam
main air ke pantai.
“ Mandi laut Mbak Reni, besok
hari Jumat kan. Rame-rame di pantai besok sore,” jawab mereka sahut sahutan.
“ Mbak Reni bikin kue lho, besok
yok yok jam 5 sore kumpul di depan bungalo. Ntar kita makan kue bareng sambil
foto-foto ya, mau nggak?” tanya saya
ke anak-anak sambil menyunggingkan senyum terbaik agar mereka mau dateng hahaha.
Dan respon anak-anak adalah
sebagai berikut:
“ Waaah mau, beneran ya Mbak Reni
besok aku ke depan bungalo jam 5 sore. Kuenya kue apa Mbak?” tanya Kayla.
“ Mbak Reni emang ulang taun ya,
kok besok bagi-bagi kue?” tanya Nurul.
“ Mbak Reni kalo ulang taun
maunya kadonya apa?” tanya Izah.
Dan jawab saya,
“ Yah pokoknya aku bikin kue
banyak, besok ya jam 5 di depan bungalo kita makan kue bareng habis itu
foto-foto. Okeokee,” kata saya sambil mengangkat dua jempol tangan.
Begitulah.
Setelah magrib saya ke komplek
bukit. Mbok Tik dan saya menuang-nuang adonan ke cetakan teflon. Hingga pukul
22.30 WITA barulah seluruh adonan menjelma menjadi kue lumpur yang harum. Kue lumpur
istimewa resep rahasia Mbok Tik. Dibagikan kepada keluarganya Mbok Tik,
sebagian saya simpan untuk anak-anak.
Besoknya jam 5 sore saya jalan ke
arah bungalo. Izah, anak kelas 2 SD muncul dari ujung gang pas saya menutup pintu rumah. Sambil mesam-mesem Izah berjalan mendekat. Kedua tangannya disembunyikan
di balik badan selama kami berjalan ke bungalo menyusuri pantai. Baru sampai di
pertigaan dermaga, sudah terlihat banyak anak yang sedang mandi laut.
Mendekati bungalo anak-anak
beranjak dari air mendekat ke saya dan Izah. Sekonyong-konyong memberikan
selamat ulang tahun, berseru minta maaf karena tidak membawa hadiah (kecuali
Izah yang tiba-tiba menyerahkan bingkisan :”) oh ini yang dia sembunyikan
teryata, saya terharu meski ngga beneran
ulang tahun ). Anak-anak ini menyerbu kue yang saya bawa. Habislah dalam waktu
kurang dari 3 menit. Membaginya ke tangan-tangan mungil mereka sambil berseru
menjelaskan kalau saya tidak sedang berulang tahun hehe. Sore itu, dua minggu
sebelum kembali ke Jawa saya mengadakan photo
session untuk anak-anak.
Maka izinkan saya menuturkan salah
satu alasan mengapa saya ingin kembali ke Nusa Penida. Mereka yang sudah menempati
sepotong hati saya, cahaya-cahaya dari pesisir pantai Toyapakeh.
Dari depan ke belakang, dari kiri ke kanan : Intan, Eva, Ella, Kisti,
Zilla, Mail, Izah di belakang Mail (ketutupan hehe), Zahra, Opik, Anik, Ta’ung,
Savirah, Rizka, Nurul, Galuh, Zaskia, Ella (adiknya Nurul), Rika, Ida, Lina,
Miah.
Tiga setengah bulan. Lihat mereka
ngaji. Berbagi cerita pengalaman liburan. Bicara tentang hobi. Sombong-sombongan renang paling cepet ke ponton. Banyak-banyakan hasil
mancing kenus (cumi-cumi). Dua sesi mendongeng di kamis malam. Duduk di depan
warung Bik Aluh atau Mbok Mar sambil tebak-tebakan nama jukung. Mandi laut di
prasi setiap hari jumat. Atau sekedar melambaikan tangan saat berpapasan di
gang-gang di Toyapakeh. Dan sesi yang ini, berbagi mimpi. Ya saya masih ingat
beberapa tersenyum malu-malu saat mereka cerita pengen jadi apa pas udah
besar nanti. Beberapa yang lain mengucapkan dengan lugas mau jadi apa. Satu dua
katanya masih belum tau. Trenyuh. Meresapi ucapan-ucapan mereka, melihat semangat
terpancar di balik kalimat anak-anak bermata cemerlang itu.
Tahu apa?
Seketika ingin saya mengambil
bagian, ikut berjuang untuk mimpi mereka.
Pernah denagn randomnya satu siang saya
mendengarkan lagu Indonesia Pusaka sambil lihat foto anak-anak ini. Dada saya rasanya
sesak, saya nangis bombay,
sesenggukan di pojok kamar. Aransemen musik yang mendayu-dayu, kalimat kalimat
yang menyusun lagu lalu yang terpikir di benak saya adalah anak-anak ini
seharusnya bisa mendapatkan lebih atas apa yang bisa mereka manfaatkan dari
lingkungan tempat mereka tinggal.
Saya cukup bosan mendengar banyak
pihak berdebat, berkeluh, menyampaikan kalimat klasik akan kayanya ibu pertiwi berikut
hal-hal yang menghambat pemanfaatannya. Maka untuk kesekian kalinya, saya
menyusun rencana-rencana. Semoga terdengar oleh Yang Maha Mendengar.
Anak-anak ini. Bagaimanalah saya
tidak rindu, sedang 3 hari lalu Nurul telfon sebelum dia dan anak lain belajar
malam. Dia bilang malam itu mau diajarin
matematika sama Bang Aga. Aga bilang mereka ribut kalo belajar banyak nanya. (Ya ngga papa Ga, itu artinya
mereka semangat untuk paham akan sesuatu kan hehe). Lalu kemarin malam Rizka
sms katanya tanggal 20 nanti dia mau dikirim untuk lomba Olimpiade MIPA Matematika, yang kemudian malam
ini sms bahwa lombanya jadi hari senin besok. Dan dua hari berturut-turut
setelah isya Galuh menelepon saya. Samar saya mendengar mamaknya mendikte apa
yang Galuh mau katakan ke saya. Anak ini bilang kalau suatu saat dia berkunjung
ke Jawa, dia mau mampir ke Magelang, ke rumah saya. Dia juga bilang ke saya
kalo dia mau dikirimi fotonya yang lagi di pantai dan meminta saya memberi
tulisan-tulisan di foto itu (Ya Luh, nanti InsyaAllah aku kirimkan setelah ngumpulin draft skripsi ya hehe). Lalu sms
dari Izah dan Nabilla menanyakan kapan saya ke Pakeh lagi.
Bagaimanalah saya tidak rindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar