Banggai, dengan laut berair jernih
berpasir sewarna terigu. Kata seorang kawan baru, kalau kita naik perahu berkeliling
ke sekitaran pulau kemudian melongokkan kepala ke dasar laut dangkalnya, maka
seperti melihat ikan di akuarium, biru bening. Hmm katanya lagi, sebetulnya tak
perlu perahu atau berenang jauh dari tepian, alam menyajikan pemandangan
menakjubkan di bawah air dengan berenang dekat-dekat saja.
Banggai, syukurlah kabarnya tak dipadati
pengunjung, masih sepi. Salah satu dari banyak pulau lain di Indonesia yang
masih orisinil, masih virgin.
Maukah kau menemaniku ke sini? Kita akan berkunjung ke Banggai pada
satu kesempatan nanti. Menjejakkan kaki di pasir sewarna terigunya, berenang di
sekitaran pulau melihat apa yang dideskripsikan kawan baru ini padaku.
---
Sore tadi di Penuktukan.
“Sebelum pulang makan dulu ya
Mbak Reni,” kata Pak Wid saat saya beberes memasukkan barang-barang ke dalam
tas.
“Pak Wid ini repot-repot, saya nanti
makan di jalan aja Pak,” kata saya menolak dengan halus, mengingat matahari
segera menghilang kurang lebih satu jam lagi, yang berarti jalan raya
singaraja-amlapura akan gelap.
“Ayo Mbak Reni, sekalian sama
temen-temen ini, tinggal makan aja udah disiapin semua sama ibu,” kata Pak Wid
lagi.
Saya yang sedang duduk di teras
rumah melongokkan kepala ke bale bengong. Ternyata benar, makanan sudah siap
tersedia, empat orang lain sudah duduk di bale.
“Wah oke deh Pak, saya boleh bantu
habisin ini ya Pak,” kata saya kemudian. Merasa tidak enak setelah ngobrol
mendapat banyak info dari beliau kemudian menolak tawarannya. Saya membereskan
barang bawaan, beranjak dari teras menuju bale bengong.
Ada 5 orang duduk bersila makan
di bale bengong pada sore menjelang malam kali ini; saya sendiri, Pak Wid
pemiliki rumah, Matthew bule Amerika yang sedang menjadi volunteer untuk satu
lsm lokal di Penuktukan, kemudian ada Mas Emi dan Mas Rafi.
Sambil menyendok sayuran dan lauk
Pak Wid bercerita, meski tinggal di tepi laut beliau tidak bisa makan ikan laut
sejak kecil. Sudah mencoba memaksa tetap saja tidak bisa. Entah mengapa katanya.
Saya pikir sayang sekali, karena masakan ikan laut di tangan istri Pak Wid bisa
lezat begini.
Pak Wid menyampaikan Matthew ini
orang amerika yang sedang jadi volunteer untuk kegiatan salah satu lsm untuk promosi
kegiatan di Desa Les dan Penuktukan. Dari obrolan singkat Matthew bercerita bahwa
dia baru dari Korea, menetap 2 tahun di Pulau Jeju untuk mengajar Bahasa
Inggris. Dia mengambil studi mengenai bisnis dan ilmu kelautan, untuk itu dia
ingin membantu pengembangan program di Bali utara dalam kegiatan volunteer kali
ini.
“Wah asik sekali ya Matthew
jalan-jalan terus hehe. Habis ini kemana lagi tujuanmu? ” kata saya.
“Saya cuma mau cari pengalaman
sebanyak-banyaknya di luar amerika, nanti pas saya kembali ke sana pasti banyak
yang sudah berubah, teman-teman, lingkungan, tapi ya saya senang dengan begini.
Dua minggu lagi saya terbang ke Singapore, kemudian mau menyeberang ke Sumatra,
menyusur Sumatra dari utara ke selatan lalu menyeberang ke Jawa,” kata Matthew
dengan bahasanya, bercerita dengan wajah sumringah menantikan perjalanan
berikut.
“Aku ini suka iri sama orang
sepertimu, masih muda sudah mengunjungi banyak tempat,” komentar saya. Berdasar
taksiran saya Matthew ini berumur sekitar 25an, dari ceritanya yang baru saja
lulus pendidikan bachelor.
“Yah, yang paling utama adalah
menikmatinya bukan,” katanya yang saya balas dengan menunjukkan sederetan gigi sambil
mengangguk-angguk.
Saya bertanya pada Mas Emi dan
Mas Rafi,” Mas Emi sama mas Rafi ikut kegiatan volunteer juga ya?”
“Iya Mbak, ini barengan kami
berdua ke sini dari Banggai,” kata Mas Emi.
“Waaw jauh-jauh dari Sulawesi ceritanya
ya mas. Kok bisa tertarik ikut kegiatan di bali utara mas?” tanya saya
penasaran.
“ Awalnya kami udah sering kontak
sama salah satu lsm di sini, mereka juga secara berkala ke Banggai buat
monitoring terumbu karang, mangrove, sea grass juga. Suka cerita-cerita, kami
dengar di sini lagi dibuat kawasan konservasi kan ya Mbak. Berapa waktu lalu bilang
sama ibu ketuanya, terus ditawarin ke sini buat belajar. Akhirnya kami berdua
ke sini,” jawab Mas Emi.
“ Oh gitu mas, iya ini saya juga
lagi ikut belajar deket-deket laut hehe ,” kata saya sambil menyendok sayur.
“ Banggai itu Mbak, sejak otonomi
daerah ditetapkan 14 tahun lalu, lautnya ngga pernah disentuh. Padahal Banggai
sendiri luas wilayah lautnya empat kali dibanding luas daratannya, potensinya
melimpah,” kata Mas Rafi.
Terhenyak, menghentikan makan. Mengalihkan pandangan pada Mas Rafi.
“Sudah ada usaha pendekatan ke
pemerintah Mas?” tanya saya.
“Sudah berkali-kali Mbak. Tapi sampai
sekarang pemerintah belum berpihak pada kami.”
Lagi lagi kebijakan, birokrasi.
“Gitu ya Mas. Hmm.. Kalau di Bali
utara ini mas, khususnya di Buleleng ada anggaran pemerintah yang memang
dialokasikan untuk pembelian alat selam, atau misalnya untuk kegiatan rehabilitasi
terumbu karang bisa dialokasikan untuk pembuatan heksadome gitu Mas. Mungkin bisa
juga ngajuin yang seperti itu Mas di sana? Maksud saya misalnyapun pemerintah
belum berpihak, kalau ada anggaran dana yang dialokasikan buat kegiatan semacam
itu bisa ngajuin proposal buat bergerak di bawah,” kata saya.
“Wah Mbak, Dinas aja belum punya
alat selam, gimana kami mau minta ke sana. Pemerintah kami belum ada perhatian
ke laut. Sejak 14 tahun otonomi daerah diberlakukan, ada dinas yang judulnya kelautan
sampai sekarang belum punya alat selam, kalo perlu data selalu mengandalkan lsm.
Kami pernah mengajukan tentang pembentukan Daerah Pemanfaatan Laut (DPL, atau
kawasan konservasi perairan laut di tingkat desa/ masyarakat lokal) tapi ditolak
alasannya selalu perlu data,” Mas Rafi menimpali.
“Kalau data lapangan memang perlu
kan ya Mas untuk pembentukan kawasan pemanfaatan,” sahut saya.
“Iya Mbak lsm ini secara berkala
ke Banggai buat ngadain monitoring, setidaknya kami mulai terbantu untuk
pengadaan data. Kami kirim juga foto-foto ke yayasan lain. Kalo ngobrol gini
siapa tau dari Mbak nanti bisa juga ngadain monitoring di Banggai,” kata Mas
Rafi.
“Hmm coba saya catat dulu ya Mas.
Kalau untuk dive operator atau resort di Banggai gimana Mas? tanya saya.
“Belum ada satupun dive operator
di sana Mbak. Penginapan ada tapi jauh sekali dari pesisir.”
“Kalau mulai deketin masyarakat
buat bikin semacam homestay gitu Mas?”
“Sudah Mbak tapi susah sekali,
masih gimana gitu pemikiran masyarakatnya. Padahal kan ini nanti akan jadi
pemasukan juga buat mereka. tapi saya pikir kalau nanti sudah ada yang berhasil
satu, yang lain akan lebih mudah untuk diajak kerjasama,” kata Mas Rafi.
“Betul Mas Rafi. Tapi dari awal
memang perlu sekali pemahaman tentang keberlanjutan kan ya Mas, takutnya nanti
kalau suatu hari terkenal, kemudian dieksploitasi habis sudah, hehe,” kata
saya.
“Iya Mbak, sedih juga kalau jadi
begitu.”
---
Banggai.
Pulau ini masuk dalam wilayah
Provinsi Sulawesi Tengah. Pada tahun 2012, Kabupaten Banggai mengalami
pemekaran sehingga terbagi menjadi Kabupaten Banggai Kepulauan dan Kabupaten
Banggai Laut. Sampai tahun ini Kabupaten Banggai Laut dipimpin oleh Bupati
Pelaksana Tugas karena belum ada pemilihan Calon Bupati. Dari data yang didapat di internet, Banggai
memiliki wilayah laut mencapai 18.800 kilometer persegi. Wilayah laut yang cukup luas untuk sebuah kabupaten, didukung dengan potensi
melimpah yang terlalu sayang untuk tidak dihiraukan. Mas Rafi dan Mas Emi
adalah anggota dari Kelompok KALI (Katulistiwa Alam Lestari) yang sudah menginisiasi
kegiatan-kegiatan untuk mengembangkan wisata bahari dan peningkatan kepedulian
terhadap laut di sana. Satu imbuhan informasi, ketika menanyakan tentang metode
penangkapan ikan karena saya dengar kawasan timur masih marak penangkapan
dengan menggunakan dinamit Mas Rafi menyampaikan bahwa ternyata Banggai ini
adalah pusat dari peredaran bahan bakar ledak. Barang dipasok dari Kalimantan ke Banggai,
kemudian disebar ke pulau-pulau sekitar, ke Papua, ke Maluku dan lain-lain. Waktu
saya tanya lagi tentang bekas-bekas pemboman Mas Rafi tersenyum kecut. Betul,
ketika snorkeling tak jarang ditemukan lahan-lahan bekas pemboman yang teridentifikasi
dari diameter-diameter substrat yang merata gundul yang dikelilingi bangun
karang di luaran diameter yang terbentuk.
---
“Itu kenapa kami berusaha untuk mengajukan
pembentukan kawasan konservasi laut, Mbak.”
Betul, agar yang cantik ini dapat dipertahankan. Kalau dari bawah sudah
ada inisiasi dan kemauan seperti ini, semoga nanti menjadi lebih mudah ketika kebijakan
sudah berpihak pada Mas dan teman teman. Seperti yang Mas Rafi dan Mas Emi
sudah pahami. Menjual tanpa merusak, ada cara lain untuk memanfaatkan dengan
baik agar tetap lestari.
“Oya, Mas Rafi tadi menyinggung tentang
souvenir yang sudah diekspor. Souvenir apa mas kalau boleh tau?” tanya saya.
“Oh, ini Mbak,” kata Mas Rafi
sambil melepas kalung yang dikenakannya.
Handmade Cardinalfish yang terbuat dari batok kelapa |
Untuk melihat ‘wajah’ bawah
laut Banggai bica coba browsing ya teman-teman :)
Bagaimana, bersediakah menemaniku ke Banggai? Kita bisa terbang ke Luwuk.
Lalu dari Luwuk kita akan naik kapal selama 7 jam langsung menuju Banggai Laut,
katanya ini adalah cara paling mudah dan nyaman untuk mencapai pulau itu.
Betul, 7 jam menyeberang. Tidak mengapa bukan? Di situ kita akan bercerita
banyak sambil merencanakan perjalanan-perjalanan berikut. Yuk, kita ke sini :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar